
UPAYA pemberian gelar pahlawan nasional bagi Presiden kedua Soeharto dinilai tidak relevan dan bermasalah. Setidaknya, Soeharto tak memenuhi satu dari enam syarat umum bagi seseorang untuk diberikan gelar maupun tanda jasa berdasarkan Undang-Undang Nomor 20/2009.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi. Ia menjabarkan, enam syarat pemberian gelar atau tanda kehormatan itu antara lain WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari NKRI, memiliki integritas moral dan keteladanan.
Berikutnya, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, dan tidak pernah dipidana, minimal lima tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dari syarat umum tersebut, Hendardi menyoroti syarat berkelakuan baik dalam pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto. Pasalnya, Soeharto terganjal dengan berbagai pelanggaran HAM maupun kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yang terjadi selama rezim otoritarian dan militeristik Orde Baru.
"Dan itu belum pernah diuji melalui proses peradilan," terang Hendardi lewat keterangan tertulis yang diterima Media Indonesia, Jumat (25/4).
Di samping itu, ia juga menekankan persoalan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh keluarga serta elite inti di sekitar Soeharto. Baginya, akumulasi persoalan tersebut secara objektif menjadi penyebab utama Soeharto dilengserkan oleh gerakan Reformasi 1998.
"Pendek kata, Soeharto tidak memenuhi syarat umum berkelakuan baik," sambungnya.
Hendardi berpendapat, tak adanya klarifikasi politik yang memadai serta ketidakmungkinan putusan pengadilan mengenai kejahatan yang dilakukan oleh dan terjadi selama pemerintahan Soeharto menjadi penegas bahwa pemberian gelar pahlawan nasional untuk mantan mertua Presiden Prabowo Subianto menjadi tidak relevan.
Di sisi lain, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto jadi bermasalah secara sosial politis karena diyakini bakal menjadi simbol dan penegas bagi kebangkitan Orde Baru ataupun kebangkitan Cendana, sebutan untuk keluarga dan orang-orang di sekitar Soeharto.
"Glorifikasi Soeharto dengan memberinya gelar pahlawan nasional akan mendeligitimasi reformasi sebagai gerakan politik untuk melawan otoritaritarianisme dan menegakkan supremasi sipil pada 1998," tambah Hendardi.
Selain itu, sambungnya, gelar pahlawan nasional untuk Soeharto juga dinilai seakan menghapus sejarah kelam rezim Orde Baru dan menciptakan kontradiksi serta kebingunan kolektif tentang seorang pemimpin politik yang dilengserkan karena akumulasi kejahatan yang terjadi. (P-4)