Christiano saat membacakan pleidoi pribadinya di Pengadilan Negeri Sleman, Selasa (28/10/2025).(Dok Is)
CHRISTIANO Tarigan, terdakwa kasus kecelakaan lalu lintas yang menewaskan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Argo Ericko Achfandi, mengaku menanggung sanksi sosial yang berat. Tuduhan sebagai pembunuh, pemabuk, pengendara ugal-ugalan, hingga kabur dari tempat kejadian telah menyebar luas dan menimbulkan stigma negatif di masyarakat.
“Berita-berita yang tidak sesuai dengan kenyataan membuat nama baik saya tercoreng dan memengaruhi kehidupan sosial saya,” ujar Christiano saat membacakan pleidoi pribadinya di Pengadilan Negeri Sleman, Selasa (28/10).
Christiano mengaku kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan dan mengejar cita-cita yang telah lama diperjuangkan. “Sanksi sosial ini tidak hanya saya rasakan secara pribadi, tetapi juga berdampak pada keluarga saya yang ikut menanggung beban moral dan tekanan dari lingkungan sekitar,” katanya.
Christiano mengaku menyesal atas peristiwa kecelakaan tersebut. Ia menyebut keluarganya telah berulang kali mencoba meminta maaf langsung kepada keluarga korban, tetapi belum mendapat kesempatan bertemu. “Saya memohon diberi ruang untuk memperbaiki diri,” ucapnya.
Christiano mengaku kecelakaan di Jalan Palagan, Yogyakarta, pada 24 Mei lalu terjadi tanpa niat dan bukan akibat kelalaiannya. “Sesaat setelah kecelakaan, saya tidak melarikan diri. Saya menghampiri korban, memeriksa keadaannya, dan mencari pertolongan,” ujar Christiano.
Christiano mengungkapkan hidupnya berubah total setelah peristiwa kecelakaan. Ia harus membatalkan kuliah di Universitas Groningen, Belanda yang semula dijadwalkan berlangsung Agustus hingga Desember tahun ini.
"Banyak yang mengatakan keadilan tidak berpihak pada saya, tapi saya percaya Tuhan memberi ujian agar saya belajar lebih kuat dan bertanggung jawab,” katanya.
Tim penasihat hukum Christiano yang dipimpin Achiel Suyanto menilai perkara ini telah bergeser dari proses hukum objektif menjadi pengadilan opini publik. Anggota tim, Diana Eko Widyastuti, menilai pemberitaan yang tidak berimbang dan tekanan media sosial memengaruhi persepsi publik terhadap kliennya.
“Klien kami sudah lebih dulu dinyatakan bersalah oleh pengadilan media sosial sebelum fakta hukum terungkap di persidangan,” katanya.
Diana menegaskan asas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi. Tim hukum juga menolak dakwaan jaksa yang menjerat Christiano dengan Pasal 310 ayat (4) atau Pasal 311 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Mereka menilai tidak ada bukti yang menunjukkan terdakwa mengemudi secara ugal-ugalan atau di bawah pengaruh alkohol.
Beberapa saksi, menurut tim pembela, justru menyebut korban tidak mengenakan helm dan berada sangat dekat dengan marka tengah jalan. Dalam pleidoinya, mereka memohon agar majelis hakim menerima pembelaan secara keseluruhan, menyatakan perbuatan Christiano bukan tindak pidana, dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum.
“Dalam kasus kecelakaan lalu lintas, tidak semua peristiwa otomatis memenuhi unsur pidana. Harus ada hubungan sebab-akibat yang nyata serta bukti kelalaian,” ujar tim pembela.
Majelis hakim memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk membacakan replik pada Rabu, 29 Oktober 2025. (E-4)


















































