Tarik Ulur Perang Dagang AS-Tiongkok: Trump Janjikan Penurunan Tarif, Tiongkok Tetap Keras Kepala

5 hours ago 2
 Trump Janjikan Penurunan Tarif, Tiongkok Tetap Keras Kepala Ilustrasi(freepik)

PRESIDEN Amerika Serikat Donald Trump kembali mengundang perhatian dunia setelah menyatakan niatnya untuk memangkas tarif impor barang dari Tiongkok secara signifikan. Pernyataan ini memunculkan harapan baru bagi investor global terkait potensi meredanya perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia. 

Namun, respons dari pihak Tiongkok jauh dari kata antusias—pemerintah Beijing bahkan menyebut pendekatan Trump sebagai tindakan “mundur secara memalukan.”

Dalam pernyataan kepada wartawan di Gedung Putih, Trump menyampaikan tarif besar-besaran terhadap produk Tiongkok akan “turun secara substansial.” Ia juga berjanji akan bersikap lebih lunak dalam perundingan, termasuk tidak akan mengungkit asal usul pandemi Covid-19, yang sebelumnya menjadi titik panas dalam hubungan bilateral.

Namun, pernyataan tersebut tampaknya tidak cukup untuk meluluhkan hati para pejabat Beijing. Tiongkok tetap bersikeras bahwa semua tarif harus dihapus sepenuhnya sebelum pembicaraan dagang bisa dilanjutkan.

“Siapa yang mengikat lonceng, dia pula yang harus melepaskannya,” ujar He Yadong, juru bicara Kementerian Perdagangan China.

“AS memulai kenaikan tarif secara sepihak. Jika mereka sungguh ingin menyelesaikan masalah ini, mereka harus mencabut semua langkah tarif unilateral dan melakukan dialog setara.”

Meskipun Trump menyatakan komunikasi langsung antara pejabat AS dan Tiongkok terjadi “setiap hari,” hal ini dibantah secara langsung Kementerian Luar Negeri China. Guo Jiakun, juru bicara kementerian tersebut, menyebut klaim Trump sebagai “berita palsu,” dan menegaskan bahwa tidak ada negosiasi atau kesepakatan yang berlangsung.

Para pengamat di Tiongkok yang dekat dengan pemerintahan menyebut sikap lunak Trump sebagai bentuk tekanan dari dalam negeri AS, terutama dari sektor keuangan dan perdagangan yang mulai terguncang. Wang Yiwei dari Universitas Renmin menyebut bahwa pesan-pesan Trump lebih ditujukan untuk meredakan kekhawatiran publik AS dan investor Wall Street.

“Trump terlihat panik. Tapi Tiongkok tak lagi percaya dengan ucapannya—hari ini bilang potong tarif, besok bisa saja naik lagi,” ujar Wang.

Wu Xinbo dari Universitas Fudan menambahkan Tiongkok tidak tergesa-gesa untuk bernegosiasi dan lebih memilih menunggu momen yang tepat. “Tiongkok bisa menahan tekanan ini. Jika kita bersabar, hasil negosiasi bisa lebih menguntungkan.”

Strategi Beijing

Meskipun ekonomi Tiongkok tak lagi sekuat sebelumnya, pemerintah tetap berupaya menunjukkan ketangguhan. Presiden Xi Jinping bahkan melakukan tur ke Asia Tenggara untuk memperkuat posisi geopolitik Tiongkok. Namun, sejumlah ekonom menilai cepat atau lambat Beijing harus membuka pintu negosiasi karena tekanan ekonomi yang terus meningkat.

Perubahan sikap Trump terjadi setelah pertemuan tertutup dengan para petinggi ritel besar AS seperti Walmart, Target, Home Depot, dan Lowe’s, yang menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap dampak ekonomi dari kebijakan tarif.

Menurut laporan Wall Street Journal, pejabat Gedung Putih menyebut tarif saat ini yang mencapai 145% bisa diturunkan ke kisaran 50%-65%. Namun, langkah ini dianggap belum cukup oleh pihak Tiongkok. “Kalau memang ingin serius, Trump harus mencabut semua tarif tak berdasar itu dulu,” tegas Wang.

Reaksi di Media Sosial Tiongkok: "Trump Kecut!"

Di media sosial Weibo, reaksi publik Tiongkok terhadap pernyataan Trump dipenuhi nada ejekan. Tagar seperti “Trump kecut” dan komentar seperti “Kalau tarif tidak dibatalkan sepenuhnya, jangan buang waktu untuk negosiasi,” menjadi viral dan mendapatkan ratusan ribu like.

Namun, di balik suara mayoritas yang keras, ada suara-suara minor yang mengkritisi kebijakan balas dendam Tiongkok terhadap AS—sayangnya, suara ini kerap disensor.

Seorang peneliti kebijakan luar negeri di Tiongkok, yang berbicara kepada CNN secara anonim, menyebut bahwa tarif tinggi telah memukul ekonomi Tiongkok secara signifikan dan menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya pengangguran serta ketidakstabilan sosial.

“Kami tersiksa oleh kondisi ekonomi yang suram. Jika tarif tetap 145%, sektor perdagangan luar negeri bisa kolaps,” ujarnya.

Pemerintah Tiongkok menargetkan pertumbuhan sekitar 5% tahun ini, sebuah angka yang ambisius. Namun para analis meragukan target ini bisa tercapai jika tekanan dari tarif AS terus berlanjut. Bahkan Goldman Sachs memprediksi tarif tersebut akan sangat membebani perekonomian Tiongkok.

Meski pemerintah Tiongkok terlihat keras di depan publik, para analis meyakini Beijing pada akhirnya akan duduk di meja perundingan. Namun, seperti yang disampaikan Wu Xinbo, “negosiasi akan dilakukan sesuai syarat China—bukan AS.” (CNN/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |