Survei Sebut Driver Ojol Lebih Pilih Potongan 20 Persen tapi Ramai, Ini Penjelasannya

4 weeks ago 26
Survei Sebut Driver Ojol Lebih Pilih Potongan 20 Persen tapi Ramai, Ini Penjelasannya Ojek online di Indonesia(Antara)

DI tengah meningkatnya peran industri digital dalam perekonomian nasional, isu kesejahteraan driver ojek online (ojol) kembali menjadi sorotan. Dua survei terbaru dari Tenggara Strategics dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) menunjukkan bahwa sebagian besar pengemudi lebih mementingkan stabilitas pendapatan dan kepastian order dibandingkan besaran potongan komisi yang diterapkan oleh aplikator.

“Mayoritas driver ternyata lebih realistis. Mereka memahami bahwa potongan komisi 20% bukan semata-mata keuntungan aplikator, tetapi juga menjadi sumber dana untuk promo pelanggan, bonus, dan berbagai fasilitas kesejahteraan,” ujar Ekonom Senior Prasasti, Piter Abdullah Redjalam, di Jakarta, Sabtu (1/12). 

Menurutnya, hasil survei ini penting untuk melihat situasi lapangan secara objektif, bukan sekadar berdasarkan opini publik di media sosial. Survei pertama dilakukan oleh Tenggara Strategics pada September 2025 terhadap 1.052 driver aktif di wilayah Jabodetabek. Hasilnya, 82% responden lebih memilih potongan komisi 20% dengan order tinggi dibandingkan potongan 10% dengan order sepi. Bahkan, dari mereka yang pernah mencoba platform dengan potongan rendah, 85% menyatakan penghasilan mereka sama saja atau bahkan lebih kecil.

Survei kedua dilakukan oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) di enam kota besar dengan melibatkan 1.623 responden. Hasilnya memperkuat temuan sebelumnya: 60,8% driver memilih potongan 20% dengan insentif dan promo pelanggan dibanding potongan 10% tanpa dukungan promosi. Selain itu, 81% responden menyebut stabilitas penghasilan harian lebih penting dibanding margin per order.

Menurut hasil survei PPPI, sebagian besar driver juga memahami bahwa potongan komisi yang dikenakan aplikator sebagian dikembalikan dalam bentuk promo pelanggan, program bonus, hingga fasilitas kesejahteraan seperti diskon servis kendaraan, paket data, atau sembako. Promo tersebut dinilai penting untuk menjaga jumlah order, terutama bagi driver penuh waktu yang bekerja lebih dari delapan jam per hari.

“Promo dan insentif inilah yang membuat orderan terus berjalan. Tanpa itu, penghasilan driver justru akan turun,” kata salah satu responden dalam survei.

Piter menjelaskan, hasil kedua survei ini menunjukkan bahwa isu utama yang dihadapi ekosistem transportasi daring bukan sekadar angka potongan komisi, tetapi bagaimana komisi itu dikelola dan dikembalikan dalam bentuk manfaat nyata. Menurutnya, keadilan dalam ekosistem ride hailing bergantung pada transparansi dan efisiensi pengelolaan dana komisi, bukan sekadar besarannya. 

“Kalau aplikator bisa menunjukkan transparansi dan manfaat yang jelas, maka kemitraan akan berjalan lebih sehat,” ujarnya.

Lebih jauh, Piter menilai kesejahteraan driver tidak bisa dilepaskan dari kestabilan ekosistem digital nasional. Industri ride hailing, katanya, berperan besar dalam menopang ekonomi digital Indonesia yang nilainya terus meningkat dan kini diperkirakan mencapai lebih dari Rp382 triliun atau sekitar 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Di tengah ancaman PHK di sektor konvensional, sektor digital justru menjadi bantalan ekonomi karena menyerap jutaan tenaga kerja baru,” ucapnya.

Namun, di tengah pertumbuhan itu, tantangan baru juga muncul. Aplikator menghadapi biaya operasional dan teknologi yang tinggi, serta persaingan agresif di tengah tuntutan konsumen untuk harga yang murah. Kondisi ini membuat keseimbangan antara profitabilitas perusahaan dan kesejahteraan mitra menjadi isu krusial.

“Kalau regulasi terlalu menekan atau mengatur secara kaku, ruang inovasi aplikator bisa terhambat dan dampaknya justru dirasakan oleh driver sendiri,” ujar Piter.

Ia menegaskan, peran pemerintah seharusnya menjadi penjaga keseimbangan, bukan pihak yang mempersempit ruang inovasi. Regulasi yang adaptif diperlukan untuk memastikan ketiga pihak, yakni aplikator, driver, dan konsumen mendapatkan manfaat yang proporsional.

“Negara perlu hadir sebagai wasit yang adil, bukan pemain yang ikut menentukan harga atau skema bisnis,” tegasnya.

Ke depan, Piter mengusulkan agar pemerintah, aplikator, dan asosiasi driver duduk bersama untuk menyusun blueprint keberlanjutan ekosistem digital Indonesia. Ia menilai pendekatan proaktif jauh lebih baik dibanding reaktif ketika konflik sudah muncul di lapangan.

“Jika tiga pihak ini bisa membangun dialog jangka panjang, industri ride hailing kita bukan hanya tumbuh besar, tapi juga berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan,” pungkasnya.(M-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |