(MI/Seno)
PERAIH Nobel Ekonomi 2025, Joel Mokyr, Philippe Aghion, dan Peter Howitt; serta peraih Nobel 2024, Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James Robinson memberikan jawaban utuh tentang bagaimana caranya mendorong pertumbuhan ekonomi. Peraih Nobel 2024 menjelaskan syarat utama pertumbuhan ekonomi, sementara peraih Nobel 2025 menjelaskan syarat cukupnya. Kualitas institusi adalah syarat utama, sementara syarat cukupnya adalah penguasaan teknologi. Bagaimana kedua pemikiran itu berhubungan?
Negara berkembang seperti Indonesia, dengan kapasitas teknologi terbatas, membutuhkan kerja sama dengan negara maju dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi untuk bisa terlibat dalam proses produksi manufaktur dunia dan menikmati percepatan pertumbuhan ekonomi. Keterlibatan dalam proses produksi berbasis teknologi dan inovasi hanya akan terjadi melalui jalur investasi dari negara maju ke negara berkembang.
Syaratnya, kualitas institusi atau perangkat hukum dan regulasi negara berkembang harus menarik, serta memenuhi standar kebutuhan investasi fisik jangka panjang. Untuk mencapai kualitas hukum seperti ini, seluruh upaya reformasi struktural di dalam negeri harus sesuai dengan standar internasional. Selain itu, karena seluruh negara berkembang bersaing untuk menarik investasi fisik jangka panjang, reformasi struktural tidak bisa hanya dilihat sebagai upaya perbaikan antarwaktu, tetapi persaingan antarnegara.
Pemikiran keenam peraih Nobel Ekonomi 2024 dan 2025 sangat penting dalam mendefinisikan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Peraih Nobel Ekonomi 2025 mengingatkan dunia, bahwa proses inovasi teknologi sudah semakin inklusif, dinamika persaingan semakin cepat dan umur produk semakin pendek. Bila tidak cepat menyesuaikan diri, seberapa canggih pun sebuah produk, ia tidak akan bertahan lama menguasai pasar.
Inovasi harus terus dilakukan dan karena persaingan semakin ketat, inovasi semakin efektif bila digerakkan oleh unit-unit kecil kolaboratif ketimbang unit besar seperti institusi pemerintah atau perusahaan besar.
Sumber inovasi sudah mulai bergerak dari institusi besar menuju perusahaan tingkat individu yang mana perkembangan teknologi mulai bergantung pada disrupsi kreativitas. Perubahan ini memerlukan proses pengambilan keputusan yang cepat dan efektif. Ekonom menyebut perubahan ini sebagai pergeseran strategi dari keynesian top-down menuju schumpeterian bottom-up.
Lalu, bagaimana cara mengetahui sumber pertumbuhan ekonomi? Model keynesian menunjukkan sumber pertumbuhan ekonomi terletak pada hubungan daya saing dan investasi. Teori ekonomi menjelaskan indikator daya saing ada pada neraca transaksi berjalan (NTB). Neraca ini memuat data transaksi barang, jasa, imbal investasi, imbal jasa, dan penerimaan dari pariwisata lintas negara.
Daya saing diukur dari kemampuan sektor riil sebuah negara dalam menghasilkan mata uang asing. Kombinasi pemikiran Nobel Ekonomi 2024 dan 2025 menunjukkan bahwa peningkatan daya saing negara berkembang ditentukan oleh kemampuan mendapatkan investasi fisik jangka panjang (foreign direct investment (FDI) inflows) dari negara maju. Investasi fisik adalah indikator awal sebuah negara untuk masuk ke dalam jaringan produksi dunia. Indikator ini akan semakin baik ketika negara penerima investasi tidak hanya memproduksi barang, tapi juga menjual produk tersebut ke luar negeri dan mendapatkan devisa.
Namun, sebelum itu, bagaimana caranya memetakan daya saing berdasarkan produk? Daya saing produk sebuah negara dapat dihitung melalui kombinasi pengukuran indeks daya saing statis RCA (revealed comparative advantage) dan dinamis CMSA3 (constant market share analysis type-3). Kombinasi kedua indeks ini dapat digunakan untuk mendefinisikan setiap produk ekspor Indonesia untuk masuk kategori sudah kuat (great), sedang meningkat (sunrise), sedang menurun (sunset), sulit berkembang (saturated).
Ketika negara lain juga dihitung dengan metode yang sama, model ini mampu mendefinisikan hubungan bilateral Indonesia dengan negara mitra mana pun pada jenis produk apa pun (Verico, 2023, 2022 dan 2020). Investasi fisik dari negara mitra cocok untuk masuk ke Indonesia (FDI inflows) ketika produk tersebut di Indonesia masuk kategori sunset, sementara di negara mitra masuk kategori sunrise dan sebaliknya. Sisanya, pada setiap produk yang sama, kita akan unggul pada sisi ekspor ketika daya saing kita lebih baik dari negara mitra dan sebaliknya, lebih cocok impor ketika daya saing negara mitra lebih baik dari pada kita.
Indonesia bisa mulai mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan daya saing produk. Sesuai dengan saran pemikiran Nobel Ekonomi 2024 dan 2025, strategi dimulai dari reformasi struktural dalam negeri berstandar internasional, lalu diikuti dengan kerja sama bilateral dengan seluruh negara mitra ekonomi menurut jenis produk.
Analisis daya saing baik dari sisi NTB (ekspor dan impor) dan investasi fisik jangka panjang (FDI inflows dan outflows) membantu negara memetakan potensi kerja sama antarnegara menurut jenis produk.
Hasil pemetaan produk harus dilengkapi dengan informasi lapangan termasuk informasi perkembangan teknologi produk tersebut. Seluruh informasi akan efektif mendorong pertumbuhan ekonomi bila dihasilkan melalui proses teknokratis. Pelaksanaan kerja sama ekonominya pun harus dilakukan secara tepat, akurat dan terukur.


















































