
Satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dinilai belum membawa arah baru bagi penguatan demokrasi di Indonesia. Pengamat politik Ray Rangkuti menilai, kekuasaan justru semakin tersentralisasi, sementara partisipasi daerah dan institusi demokrasi melemah.
Ia menyoroti kecenderungan pemerintah pusat mengambil alih kewenangan daerah, termasuk dalam pengelolaan proyek strategis nasional. Menurutnya, langkah tersebut menunjukkan gejala pemusatan kekuasaan yang berlebihan dan mengikis prinsip otonomi daerah.
"Pemusatan kekuasaan ini dapat dilihat jejaknya sejak dari era pemerintahan Pak Jokowi. Banyak izin-izin yang selama ini berada di tangan pemerintahan daerah, sekarang ternangannya diambil alih oleh pemerintah pusat," kata Ray dalam diskusi bertajuk 1 Tahun Prabowo-Gibran: Indonesia Emas Atau Cemas? pada Minggu (19/10).
Ia mencontohkan kebijakan transfer keuangan daerah yang dipotong tanpa kesepakatan. Akibatnya, banyak kepala daerah mengeluh kesulitan membiayai pembangunan di wilayahnya.
Selain itu, Ray menilai upaya pemerintah mendorong program nasional seperti MBG (Menuju Bergizi Gratis) dan proyek besar lainnya terlalu sentralistis. Daerah, menurutnya, hanya menjadi pelaksana tanpa dilibatkan dalam proses perencanaan yang substansial.
Ray menuturkan, demokrasi yang sehat menuntut adanya ruang partisipasi daerah dan masyarakat dalam perumusan kebijakan. "Sekarang yang terjadi adalah pusat ingin dipahami, tapi daerahnya sendiri nggak ingin dipahami oleh pusat," tuturnya.
Ray menegaskan, jika pola konsolidasi kekuasaan seperti ini terus dibiarkan, maka demokrasi Indonesia akan kehilangan maknanya. "Kekuasaan makin memusat, tapi rakyat makin menjauh dari proses pengambilan keputusan," pungkasnya. (Mir/P-1)