
PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto yang genap berusia satu tahun pada 20 Oktober 2025 dinilai menghadirkan perubahan dalam cara negara menegaskan kedaulatan dan menjalankan kekuasaan. Akademisi Universitas Udayana, Efatha Filomeno Borromeu Duarte menyebut perubahan itu bukan hanya soal kebijakan, melainkan juga cara negara bertindak terhadap kepentingan modal besar serta praktik-praktik ekonomi yang tidak berpihak pada publik.
“Selama ini negara seperti kehilangan kata tidak. Segala bentuk pelanggaran sering dibungkus istilah bisnis, investasi, atau sinergi. Sekarang logika itu dibalik. Negara kembali menggunakan bahasanya sendiri: bertindak,” kata Efatha melalui keterangannya, Jumat (17/10).
Efatha menilai perubahan paling mencolok pada masa awal pemerintahan Prabowo adalah pergeseran yang ia sebut sebagai grammar of power atau tata bahasa kekuasaan. Negara, katanya, kini tidak lagi bersikap defensif di hadapan kekuatan modal dan kepentingan oligarki, melainkan mengambil posisi ofensif melalui instrumen hukum dan ekonomi.
“Dulu kita terlalu sibuk menegosiasikan keadilan demi stabilitas. Sekarang negara tidak lagi berbisik. Ia bertindak,” tulisnya.
Ia menilai langkah-langkah yang diambil pemerintah menandai pergeseran dari hukum yang reaktif menjadi strategi ofensif. Bukan hanya menghukum individu, melainkan menata ulang sistem yang memungkinkan praktik penyimpangan berlangsung bertahun-tahun.
Efatha menyoroti pula meningkatnya koordinasi antarlembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan kementerian teknis. Sinergi itu, menurut dia, kini lebih bersifat operasional ketimbang administratif.
“Kalau dulu sinergi berarti rapat panjang tanpa hasil, kini satu perintah di pusat bisa langsung diterjemahkan menjadi tindakan di lapangan,” ujarnya.
Meski demikian, ia memberi catatan bahwa pola kepemimpinan semacam ini masih sangat bertumpu pada figur sentral. “Tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah kekuatan figur ini menjadi sistem yang tahan banting, yang tetap berjalan meski komandan berganti,” tulisnya.
Di lain sisi, Efatha menggambarkan pendekatan pemerintah terhadap praktik ekonomi ilegal sebagai “perang ekonomi”. Ia menyebut tiga langkah yang menjadi kunci, yakni amputasi finansial terhadap korporasi bermasalah, percepatan proses hukum untuk mencegah lobi dan suap, serta transparansi izin agar ruang gelap dalam tata kelola sumber daya bisa dipersempit.
“Negara tampaknya mulai menganggap pelanggaran ekonomi besar bukan sekadar tindak pidana, melainkan ancaman terhadap kedaulatan,” tulisnya.
Efatha menilai langkah-langkah pemerintah menunjukkan arah baru dalam memperkuat kedaulatan ekonomi dan hukum nasional. Namun, ia juga menekankan pentingnya membangun sistem kelembagaan yang kuat agar kebijakan tak berhenti pada retorika dan ketergantungan pada satu figur pemimpin.
“Negara sedang menulis ulang tata bahasa kekuasaannya. Kebocoran harta negara tak lagi bisa dinegosiasikan,” ujarnya.(H-2)