
KABAR mengenai rencana reintegrasi sebagian bisnis Pertamina, khususnya di sektor downstream, yang belum berumur lima tahun bertransformasi menjadi holding dan sub holding, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga, Media dan Komunikasi FSPPB, Muhsin Budiono Nurhadi, pada 1 Juni 2025 adalah merupakan alarm serius.
Kebijakan restrukturisasi holding-subholding yang dijalankan sejak 2020 dinilai tidak menjawab tantangan efisiensi dan tata kelola yang lebih baik. Hal tersebut sebelumnya telah menjadi kekhawatiran dan penolakan resmi FSPPB.
Alarm Keras?
Menurut Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), kabar tersebut tak hanya sebagai alarm keras saja, melainkan adalah bukti nyata kegagalan restrukturisasi yang juga bahkan diakui oleh manajemen Pertamina sebagai fakta yang tidak terbantahkan.
“Janji palsu yang digembar-gemborkan awalnya oleh menteri BUMN dan manajemen Pertamina berdasarkan kajian dan masukan tiga konsultan, yakni PwC, Ernst & Young dan McKinsey kepada pemerintah selaku pemegang saham mayoritas di Pertamina, bahwa akan terjadi efisiensi, lebih lincah untuk mentas di level global,” ungkap Sekretaris Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Hengki Seprihadi, Selasa (3/6).
Masalah Serius?
Ia menilai semua itu terbukti menimbulkan masalah serius dan merugikan Pertamina, termasuk soal meraup dana dari proses IPO, dan peningkatan valuasi perusahaan secara keseluruhan.
Malah, lanjut Hengki, dalam periode yang sama, publik juga dikejutkan oleh sejumlah kasus hukum dan penyelidikan terkait tata kelola bisnis energi yang menyeret jajaran direksi di beberapa subholding Pertamina. Meskipun belum seluruhnya terbukti secara hukum, hal ini menambah kekhawatiran atas lemahnya sistem pengawasan pasca restrukturisasi.
Nilai Kerugian?
Kasus itu di antaranya diduga terjadi di PT Pertamina Patra Niaga (PPN), PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), PT Pertamina International Shipping (PIS) dan PT Pertamia Hulu Energi (PHE), yang menurut hasil penyidikan Kejaksaan Agung untuk periode 2018 hingga 2023 negara mengalami kerugian setidak-tidaknya sebesar Rp193,7 Triliun.
“Terungkapnya gagal suplai LNG di PT PGN Tbk dalam kasus kontrak LNG dengan Gunvor Singapore Pte Ltd yang juga berpotensi merugikan negara sebesar sekitar Rp1,5 triliun,” ungkap Hengki.
Utamakan Kehati-hatian?
Hengki mengutarakan, FSPPB yang telah menegaskan bukan antiperubahan, tetapi mengutamakan kehati-hatian dalam keputusan strategis BUMN energi, sejak awal telah menyampaikan tujuh poin kekhawatiran terhadap kebijakan holdingisasi. Sebab, itu berpotensi melemahkan kedaulatan energi, membuka peluang privatisasi terselubung, menciptakan inefisiensi struktural dan menimbulkan celah transfer pricing antarsubholding.
Kini, sebagian besar kekhawatiran tersebut terbukti nyata, dan harus dijadikan pelajaran penting bagi pengambil kebijakan. “Saat ini, empat kekhawatiran itu sudah terjadi. Di antaranya dari ancaman kedaulatan energi yang terbukti dengan masuknya saham pihak asing, seperti Nippon Yusen Kabushiki Kaisha (NYK) di anak usaha Pertamina International Shipping pada tahun 2022,” kata Hengki.
Dibalas Opini?
Ironisnya, lanjut Hengki, semua masukan baik dan kekhawatiran yang disampaikan Presiden FSPPB Ari Gumelar malah disikapi salah oleh manajemen Pertamina dengan membuat opini atau narasi yang memojokkan FSPPB.
“Anehnya, menurut FSPPB, penggunaan kembali konsultan yang telah terbukti gagal yaitu PwC dan McKinsey untuk reintegrasi Pertamina downstream, adalah upaya menghambur-hamburkan uang Pertamina dan berpotensi terindikasi sebagai tindakan korupsi,” beber Hengki.
Kebijakan Cerobon?
Jadi, kata Hengki, ini adalah benar-benar kebijakan yang ceroboh dan telah berakibat fatal serta merugikan Pertamina dan negara.
Seharusnya menurut Hengki, proses reintegrasi Pertamina bisa diselesaikan dengan urun rembuk manajemen Pertamina dengan FSPPB dibantu ahli manajemen dari UI, UGM, ITB, USU, Universitas Airlangga, ITS dan universitas dalam negeri lainnya.
Kebuntuan Strategi?
Hengki mengutarakan, CERI sepakat dengan FSPPB tentang perlunya Pertamina segera keluar dari kebuntuan strategi dan kembali menuju kepada arah kebijakan yang jelas, terukur, dan selaras dengan mandat konstitusi. Bukan yang berujung kepada indikasi kerugian negara.
Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) PT Pertamina (Persero) dengan tegas menyatakan bahwa setiap pengambilan keputusan, termasuk pengangkatan direksi dan komisaris, harus bebas dari kepentingan politik praktis dan kelompok tertentu yang tidak berpihak dengan kepentingan nasional.
Hajat Publik?
Hal tersebut disampaikan Presiden FSPPB, Arie Munandar, merespons dinamika menjelang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis, termasuk PT Pertamina (Persero).
"FSPPB menyatakan bahwa Pertamina merupakan perusahaan strategis negara yang bergerak di sektor energi, sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dan termasuk dalam cabang produksi penting bagi negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945," ujar Arie Munandar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/5).
Kendali Langsung?
FSPPB menyatakan bahwa kendali dan kepemimpinan perusahaan ini seharusnya berada langsung di bawah Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto.
"FSPPB memandang bahwa pengelolaan Pertamina harus mencerminkan kedaulatan energi nasional yang berkeadilan dan berorientasi pada kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, pengangkatan Direksi dan Komisaris bukan sekadar prosedural, namun strategis bagi keberlangsungan bangsa, sehingga semestinya menjadi kewenangan penuh Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto," tegasnya. (Cah/P-3)