
MASUKNYA paham Neoliberalisme ke dalam dunia pendidikan tampak nyata yang mewujud dalam beragam bentuk, termasuk korporatisasi. Masuknya paham ini di dunia pendidikan kata Rektor Universitas Islam Indonesia, Prof. Fathul Wahid, telah menggerus semangat kolegialitas. "Dikuatkan lagi dengan masuknyu prinsip new public management yang mengedepankan indikator materialistik pun mendominasi untuk mengukur kesuksesan. Posisi nilai-nilai pun mulai terpinggirkan," kata Rektor.
Dalam amanatnya pada pelantikan Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia untuk periode 2025-2026, Senin, Rektor menegaskan, tidak ingin kondisi semacam itu terjadi di lingkungan Universitas Islam Indonesia.
"Meski demikian, saya sepenuhnya sadar, tidak semua bersepakat dengan pendapat ini. Atas nama kolegialitas, kita harus terus memastikan jika kampus tetap menjamin kebebasan berpendapat," tegasnya.
Prof. Fathul Wahid mengingatkan, sebuah institusi tidak hanya terdiri dari pilar regulasi yang penting untuk menjamin tata kelola. Tetapi di sana ada pilar norma dan juga budaya. Meski ketiganya bekerja dengan cara yang berbeda, jelasnya, namun ketiganya saling melengkapi dan tak ada satu pun institusi yang kuat dan sehat yang hanya berfokus pada salah satunya.
Dikatakan, pilar regulasi dapat menguat dengan pendekatan koesif atau pemaksaan. Ini, imbuhnya, terjadi di beragam tingkat, mulai level global sampai organisasi. Sedangkan pilar norma menjadi kokoh karena semangat belajar dan memahami konteks. Di sini ujarnya ada warga organisasi terdidik yang paham posisi dan perannya.
Sementara pilar budaya penting untuk menjamin adanya konsensus antarwarga organisasi yang akan memastikan kohesivitas dan di saat yang sama, menghemat energi yang mungkin bocor karena beragam ketegangan yang dipastikan mewarnai perjalanan sebuah institusi.
Pelantikan dekan yang hanya memiliki masa tugas selama satu tahun, 2025-2026 ini karena pemekaran fakultas. Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, dipecah menjadi dua fakultas, yakni Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial Budaya.
Dengan pemekaran ini, kata Rektor kemudian muncuk banyak pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan. Dikatakan kerja-kerja institusional diperlukan untuk memastikan bahwa secara institusional kedua fakultas berada dalam posisi yang kokoh untuk terus bertumbuh.
Kontrak-kontrak sosial baru jelasnya dapat dirembuk, misalnya bagaimana institusi harus dikembangkan, bagaimana budaya organisasi baru dibentuk, bagaimana integritas akademik dipastikan, bagaimana iklim riset dikembangka, bagaimana internasionalisasi dibingkai. "Dan masih banyak lagi," ujarnya.
Untuk mengawal proses transisi, ujarnya, UII telah mementuk tim lintasfakultas yang juga melibatkan universitas. Tim ini katanya, bukan sebagai penendang bola, tetapi sebagai tempat pertemuan antar pemangku kepentingan yang bertugas mencari jalan keluar untuk beragam isu yang muncul dalam proses transisi.
"Proses transisi sendiri sudah disepakati durasinya. Untuk isu-isu penting akan diselesaikan dalam dua bulan pertama, dan secara keseluruhan akan selesai dalam enam bulan ke depan," jelasnya.
Menurut Rektor, dalam setiap organisasi ada kontrak sosial, yang jika berubah harus dirembuk kembali dan disepakati ulang. Proses seperti ini harus dilakukan untuk mengawal perubahan jika tidak disertai banyak drama. "Saya personal menganut manhaj ini. Bisa jadi sebagian kawan yang lain memilih jalan yang berbeda," tegasnya.
Sementara Ketua Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Suparman Marzuki mengatakan, para dekan yang baru dilantik, harus segera bergerak dan memunculkan diri sebagai pemimpin. "Karena yang namanya dekan, rektor dan lainnya itu hanya nomenklatur saja," ujarnya. Sedang pemimpin harus hadir agar organisasi dapat terus berkembang dn tumbuh. (H-2)