
Reformasi institusi Polri tidak seharusnya dimulai dari nol, melainkan melalui evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kajian dan implementasi yang telah ada selama dua dekade terakhir.
Hal itu diungkapkan Ketua Tim Fungsi Hankam, Direktorat Kebijakan Politik, Hukum, dan Hankam BRIN Sarah Nuraini Siregar dalam menanggapi isu reformasi institusi kepolisian.
Menurut Sarah, wacana pembentukan tim baru untuk mengkaji reformasi Polri perlu mempertimbangkan sejarah panjang proses tersebut. Ia menekankan pentingnya mengkaji kembali efektivitas berbagai rekomendasi lama ketimbang memulai dari awal.
"Reformasi Polri bukan dimulai dari nol, melainkan perlu evaluasi mendalam atas kajian dan implementasi yang sudah ada," ujarnya saat dihubungi, hari ini.
Sarah menjelaskan, terdapat sejumlah kajian penting yang sudah menjadi rujukan sejak era reformasi nasional, mulai dari Buku Biru Reformasi Polri tahun 1999, Kajian Reformasi Polri LIPI (2010–2014), Kajian Cepat Reformasi Polri yang diminta oleh Setwapres (2011–2012), hingga kajian Setara Institute yang menyoroti kebutuhan transformasi kelembagaan dan budaya kerja kepolisian.
"Yang diperlukan sekarang bukanlah membentuk tim untuk membuat kajian baru yang mengulangi hal yang sama, tetapi mengevaluasi apa yang sudah dilakukan," kata Sarah.
Ia menambahkan, tim reformasi yang akan datang seharusnya menjawab pertanyaan mendasar, yakni sejauh mana hasil reformasi Polri telah tercapai, dan apa yang masih menjadi kegagalan atau hambatan struktural.
Sarah menekankan pentingnya kesepakatan nasional tentang hal yang paling mendesak dan fundamental untuk diperbaiki dalam tubuh kepolisian. Tanpa arah yang jelas, reformasi justru berisiko kehilangan fokus dan maknanya.
Dalam berbagai kajian yang telah dilakukan BRIN dan lembaga sebelumnya, Sarah mengidentifikasi beberapa aspek yang masih menjadi tantangan utama. Salah satunya adalah reformasi budaya institusional (cultural reform), yaitu perubahan mentalitas dan pola kerja dari model militeristik–komando menuju pelayanan publik yang profesional dan menghormati hak asasi manusia.
Selain itu, aspek akuntabilitas dan supervisi juga menjadi sorotan. Ia menilai perlu ada penguatan mekanisme pengawasan internal seperti Propam, serta pengawasan eksternal yang efektif oleh Kompolnas, DPR, dan masyarakat sipil.
"Sistem pelaporan dan penindakan terhadap pelanggaran harus transparan dan tegas," terang Sarah.
Untuk jangka panjang, Sarah menegaskan pentingnya reformasi pada aspek rekrutmen dan pendidikan anggota Polri. Kualitas sumber daya manusia harus dibangun sejak proses seleksi, pendidikan, hingga pembinaan karier agar tercipta Polri yang profesional dan berintegritas.
"Reformasi yang berkelanjutan hanya bisa terwujud bila evaluasi dilakukan secara jujur dan komprehensif. Kita perlu keberanian untuk mengakui apa yang berhasil dan apa yang gagal," pungkas Sarah. (Mir/P-1)