Refleksi Pendidikan Inklusif : Mencegah Cek Kosong Kebijakan di Dunia Kerja

11 hours ago 6
 Mencegah Cek Kosong Kebijakan di Dunia Kerja Sekolah inklusif(Antara Foto)

PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei bukan sekadar sebuah seremoni tahunan, melainkan sebuah momentum krusial untuk merefleksikan perjalanan panjang dan cita-cita luhur pendidikan di Indonesia. 

Di tengah semangat pemerintahan Presiden Prabowo untuk terus memajukan kualitas sumber daya manusia sebagai pilar utama pembangunan bangsa, isu pendidikan inklusif tampil sebagai sebuah imperatif etis dan strategis yang tak terhindarkan. Hal ini penting untuk menjamin hak setiap individu, tanpa terkecuali penyandang disabilitas agar  mendapatkan akses dan partisipasi penuh dalam pendidikan.

Evolusi pendekatan terhadap peserta didik berkebutuhan khusus di Indonesia telah melalui serangkaian tahapan yang mencerminkan perubahan pemahaman dan respons terhadap keberagaman. Model pendidikan khusus yang diwujudkan dalam pendirian Sekolah Luar Biasa (SLB), meskipun bertujuan untuk menyediakan layanan yang terspesialisasi, secara inheren berpotensi menciptakan segregasi sosial dan membatasi kesempatan interaksi serta pembelajaran bersama dengan teman sebaya non-disabilitas.

Dalam pendekatan model khusus, peserta didik dengan disabilitas ditempatkan dalam lingkungan yang terpisah dan kurikulum serta metode pengajaran yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka. Meskipun model ini memberikan perhatian yang fokus bagi peserta didik dengan berkebutuhan khusus, model ini seringkali dikritik karena kurangnya integrasi dengan masyarakat luas dan potensi stigmatisasi.

Pendidikan terpadu kemudian muncul sebagai upaya untuk mengintegrasikan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam setting sekolah reguler. Model ini berupaya untuk menjembatani kesenjangan antara pendidikan khusus dan pendidikan reguler dengan menempatkan siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler untuk sebagian atau seluruh waktu sekolah. Namun, model ini seringkali menempatkan tanggung jawab adaptasi terutama pada peserta didik berkebutuhan khusus, dengan sedikit atau tanpa penyesuaian yang signifikan pada kurikulum, metode pengajaran, atau lingkungan belajar di sekolah reguler. Akibatnya, peserta didik berkebutuhan khusus mungkin menghadapi tantangan dalam mengikuti pembelajaran dan berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan sekolah.

Titik balik fundamental dalam pemikiran global terjadi dengan Deklarasi Salamanca pada tahun 1994. Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkebutuhan Khusus yang diselenggarakan oleh UNESCO di Salamanca, Spanyol, menghasilkan deklarasi yang menegaskan kembali hak setiap anak untuk belajar di sekolah reguler dan menyerukan kepada pemerintah di seluruh dunia untuk mengadopsi prinsip pendidikan inklusif sebagai norma universal.

Pendidikan inklusif memberikan kesempatan bagi peserta didik disabilitas untuk dapat belajar di tempat yang sama dengan peserta didik dengan non-disabilitas. Hal ini tidak berarti menghilangkan penyesuaian terhadap kemampuan spesial dari anak dengan kebutuhan khusus tersebut.

Tujuan dengan adanya pendidikan inklusif ini ialah memberikan kesempatan yang sama bagi peserta didik dengan disabilitas untuk berbaur dengan teman-temannya yang non-disabilitas. Dengan adanya pendidikan inklusif yang memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas untuk mendapat pendidikan bersama teman sebayanya yang non-disabilitas, pada gilirannya dapat secara langsung meningkatkan peluang disabilitas untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.

Pendidikan sebagai Jalan

Salah satu masalah sistemik yang dialami oleh hampir sebagian besar  disabilitas ialah persoalan struktural dan kultural secara bersamaan. Individu dengan disabilitas acapkali menghadapi hambatan yang membatasi partisipasi penuh dalam masyarakat, termasuk partisipasi dalam pendidikan, peluang pekerjaan, termasuk pula akses kesehatan yang layak. Hal ini yang menyebabkan disabilitas sebagai akibat dan konsekuensi dari kemiskinan.

Menurut studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (2011), tingkat kemiskinan secara global lebih tinggi di kalangan individu dengan disabilitas dibandingkan dengan individu non disabilitas. Hal ini diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik di tahun 2024 sebesar 17,85 persen penyandang disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan.

Oleh karenanya, menjadi sangat relevan bagaimana upaya pemerintah untuk memaksimalkan pendidikan inklusi dengan memberikan kewajiban bagi setiap sekolah untuk menerima peserta didik dengan disabilitas.

  Perlu Road Map yang Jelas

Pendidikan inklusif sebagai satu bagian dari sistem pendidikan nasional, sangat berimbas pada kebijakan yang berkaitan dengan sistem pendidikan secara keseluruhan. Sebagai contoh, perubahan kurikulum akan membuat penyesuaian kembali terhadap layanan yang akan diterima oleh penyandang disabilitas.

Maka dari itu, penting untuk memikirkan kembali untuk membentuk blue print pendidikan nasional termasuk pula bagaimana menjalankan pendidikan inklusif sebagai sub-bagian di dalamnya. Salah satu hal pokok yang dapat dikolaborasikan dalam hal ini ialah berkaitan dengan bagaimana menciptakan kolaborasi antara pendidikan inklusif dengan dunia kerja.

Memang, saat ini sudah terdapat kuota bagi penyandang disabilitas dalam dunia kerja yakni sebesar satu persen untuk perusahaan swasta dan dua persen untuk lembaga pemerintah  dan BUMN/BUMD. Kendati begitu, tanpa adanya pendidikan dan pelatihan yang mumpuni, penyediaan kuota khusus akan mempertegas stigmatisasi dari disabilitas itu sendiri.

Kita tentu tidak berharap bahwa angka satu persen dan dua persen kuota khusus hanya dijadikan sebagai kebijakan afirmatif rasa ‘cek kosong’ semata, atau bahkan cara perusahaan untuk sekedar memenuhi kuota supaya mendapatkan insentif pemerintah. Akan tetapi kita menginginkan kebijakan afirmatif tersebut haruslah diiringi dengan kontribusi yang maksimal dari penyandang disabilitas itu sendiri.

Oleh karenanya, kunci dari meniadakan celah antara penyandang disabilitas dengan kebutuhan realitas dunia kerja ialah dengan peningkatan kualitas pendidikan, termasuk dengan pendidikan inklusif dan didukung dengan penguatan kebutuhan yang bersifat khusus. Unit Layanan Disabilitas yang menjadi amanat dari UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas baik yang ditempatkan dalam satuan kerja pendidikan, ketenagakerjaan, maupun layanan sosial sudah seyogyanya ikut bahu membahu mengatasi persoalan ini.

Salah satu hal yang perlu dilakukan ialah membuka kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan beserta dengan pengalaman dalam dunia kerja. Tentu hal demikian bukan hanya ‘berbasis proyek’ yang bersifat sekali selesai, melainkan harus dilakukan secara berkesinambungan.

Tetapi yang paling penting, dibutuhkan kebijakan yang berisikan ‘kebijaksanaan’ serta political will yang kuat untuk melakukan kebijakan pendidikan inklusif tersebut.

Maka sudah seyogyanya seperti yang saya telah disebutkan sebelumnya, momen Hari Pendidikan sudah seharusnya menjadi refleksi bersama bagi kita sebagai insan pendidikan baik guru, pembuat kebijakan, ataupun pihak-pihak penyuara kepentingan disabilitas itu sendiri. Apakah pendidikan inklusif saat ini sudah benar-benar inklusif? Lalu bagaimanakah strategi untuk mengoptimalkan pendidikan inklusif agar benar-benar inklusif? Pertanyaan lanjutannya ialah, bagaimana pendidikan inklusif perlu ditingkatkan untuk mempersiapkan disabilitas yang berdaya saing tinggi dan tidak menjadi objek ‘cek kosong’ dalam kebijakan dunia kerja?. (H-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |