PWNU Jawa Tengah Minta Negara Tegas Tegakkan Etika

7 hours ago 3
PWNU Jawa Tengah Minta Negara Tegas Tegakkan Etika KH Ubaidullah Shodaqoh, Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah.(MI/Haryanto Mega)

GELOMBANG reaksi publik terhadap tayangan acara Expose Uncensored di stasiun televisi Trans7 yang dinilai menyinggung ulama sepuh Pondok Pesantren Lirboyo terus meluas. Tagar #BoikotTRANS7 ramai bergema di media sosial, diiringi berbagai pernyataan sikap dari kalangan pesantren dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU).

Salah satu yang turut menyampaikan pandangan tegas adalah KH Ubaidullah Shodaqoh, Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah. Dalam pernyataannya, ia mendukung penuh langkah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang sebelumnya juga telah menyoroti isi tayangan tersebut.

KH Ubaidullah menilai, kasus ini bukan sekadar kesalahan penyiaran, melainkan bentuk kelalaian dalam menjaga nilai-nilai adab dan etika jurnalistik yang seharusnya dijunjung tinggi oleh lembaga penyiaran nasional.

Dalam Pernyataan Sikap Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah, KH Ubaidullah menyebut bahwa dirinya mendukung penuh langkah KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, yang lebih dahulu memberikan tanggapan atas kasus ini.

“Kami mendukung penuh sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Staquf atas pemberitaan Trans7 di rubrik Expose Uncensored pada Senin, 13 Oktober malam lalu,” tulis KH Ubaidullah dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (14/10). 

Ia juga menegaskan perlunya negara hadir secara tegas terhadap lembaga penyiaran yang melanggar norma publik, serta mendorong lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers untuk menjalankan fungsinya secara konsisten.

“Kami mendesak kepada negara untuk bersikap tegas kepada lembaga negara seperti KPI dan Dewan Pers dalam menegakkan aturan Kode Etik kepada media penyiaran dan media cetak maupun online,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon, Bugen, Kota Semarang ini.

PERAN LEMBAGA NEGARA LEMAH
Menurut KH Ubaidullah, tayangan Expose Uncensored yang menyinggung ulama pesantren menunjukkan lemahnya peran lembaga negara dalam mengatur etika penyiaran. Ia menilai hal ini sebagai tanda perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan media di Indonesia.

KH Ubaidullah juga menyerukan agar seluruh media di Indonesia baik televisi, radio, media cetak, maupun media daring kembali menegakkan Kode Etik Jurnalistik dan etika penyiaran publik.

“Kami menyerukan kepada seluruh media penyiaran dan media massa untuk kembali menegakkan kode etik jurnalistik dan mempertimbangkan hal-hal yang berpotensi membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya.

Menurutnya, dunia media seharusnya tidak hanya mengejar sensasi atau rating, tetapi juga berperan dalam memperkuat moral publik dan menjaga keutuhan sosial.

KH Ubaidullah menilai, tayangan yang berpotensi menyinggung tokoh agama dapat memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap media dan menimbulkan keresahan di tengah umat.

Dalam poin keempat pernyataannya, KH Ubaidullah Shodaqoh juga mengajak seluruh warga Nahdliyin, para santri, kiai, dan kalangan pesantren untuk memperkuat solidaritas.

Ia mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap segala bentuk upaya yang dapat memecah belah internal NU. “Kami mengajak warga Nahdliyin, santri, kiai, dan pondok pesantren untuk merapatkan barisan dan mewaspadai ancaman serta gerakan yang dapat memecah NU,” tulisnya.

Ajakan ini, menurutnya, bukan sekadar respons emosional, tetapi langkah moral agar kalangan pesantren tetap menjaga kesatuan dan marwahnya di tengah tantangan zaman, termasuk dalam menghadapi arus informasi digital dan media hiburan yang kian bebas.

DUKUNGAN ALUMNI
Setelah pernyataan tersebut dirilis, banyak kalangan santri dan alumni pesantren di Jawa Tengah memberikan dukungan kepada KH Ubaidullah. Mereka menilai sikap itu mencerminkan ketegasan ulama dalam menjaga kehormatan pesantren dan kiai.

Ninik Ambarwati, alumni Pondok Pesantren Attanwir, Talun Bojonegoro, menilai pernyataan KH Ubaidullah Shodaqoh mencerminkan ketegasan ulama yang tetap berpijak pada akhlak dan adab pesantren.

Menurutnya, langkah tersebut bukan bentuk kemarahan emosional, melainkan bentuk tanggung jawab moral untuk menjaga marwah kiai dan dunia pesantren dari narasi media yang tidak proporsional.

“Pesantren itu tempat lahirnya adab dan keilmuan. Kalau simbol moral bangsa dilecehkan, maka yang dirusak bukan hanya lembaga, tapi akar budaya bangsa,” ujarnya.

Ninik menambahkan bahwa fenomena ini harus menjadi pelajaran bagi media agar lebih berhati-hati dalam mengemas konten. Ia menegaskan, media semestinya menjadi jembatan pengetahuan dan nilai, bukan alat provokasi yang justru menimbulkan perpecahan.

“Kami berharap kasus ini jadi momentum introspeksi. Santri, kiai, dan media harus sama-sama menguatkan etika publik agar bangsa ini tetap beradab,” terang Pengasuh Suluh Ar-Rosyid ini. (E-2) 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |