
KOORDINATOR Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sekolah dasar dan menengah gratis menjadi momentum pembenahan tata kelola pendidikan nasional.
“Pemerintah tentu harusnya merujuk kepada Undang-Undang Sisdiknas Pasal 31 ayat 3. Dikatakan di situ bahwa pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Ini ternyata sekarang makin menunjukkan kontras dengan yang terjadi di dalam kebijakan pemerintah kita. Satu sistem pendidikan nasional ini adalah batas yang diberikan sebuah sistem konstitusi kita UUD 1945 tapi kenyataannya satu sistem pendidikan nasional itu tidak terjadi,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Sabtu (31/5).
Kelola Satu Sistem
Lebih lanjut, Satriwan mengatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia saat ini berlapis-lapis dan tidak dalam satu sistem.
“Untuk tata keolah sekolah saja ya kan kita tahu SD, SMP, PAUD itu dikelola oleh pemerintah kabupaten. Sedangkan SMA, kemudian SMK, SLB dikelola oleh pemerintah provinsi. Sedangkan di Provinsi Papua semuanya itu semua jenjang sekolah mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, SLB itu dikelola oleh pemerintah kabupaten dan kota. Sedangkan di Jakarta semua jenjang sekolah PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, SLB itu dikelola oleh pemerintah provinsi,” jelas Satriwan.
Tidak berhenti di situ, sekolah keagamaan di bawah Kementerian Agama, sekolah kedinasan di bawah kementerian atau lembaga, ditambah dengan Sekolah Unggul Garuda dan sekolah Rakyat. Hal ini menandakan bahwa pemerintah belum menjalankan amanah konstitusi.
“Nah ini harus menjadi titik krusial ya bahwa pemerintah harus kembali kepada UUD 1945 dan keputusan MK ini harus menjadi titik berangkat untuk pembenahan itu semua. Ini yang kami harapkan dari pemerintahan Pak Prabowo,” tuturnya.
Keberpihakan Anggaran
Menurut Satriwan, momentum revisi UU Sisdiknas yang akan mencakup UU Guru dan Dosen, UU Dikti, dan UU Pesantren dengan skema kodifikasi menjadi momentum yang sangat tepat untuk pembenahan ini semua.
“Rekomendasi dari kami harus ada keberpihakan anggaran dan pembagian anggaran yang betul-betul sesuai dengan perintah UUD 1945 anggaran pendidikan. Dikatakan di pasal 31 ayat 4 UUD 45 negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan 20% dari APBD untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional,” ujar Satriwan.
Jika dilihat dari postur APBN selama ini, misalnya pada 2025, Kemendikdasmen hanya mendapatkan anggaran 4,6% atau Rp33 triliun dari 20% anggaran pendidikan yang jumlahnya sekitar Rp724 triliun. Sementara Kemendiktisaintek sekitar Rp50 triliun.
“Kalau kita lihat Kemendikdasmen yang paling kecil anggarannya dan yang lebih besar itu ternyata Rp100 triliun lebih dikelola oleh kementerian/lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan. Kemendikdasmen menjadi kementerian yatim piatu,” tegasnya.
Dikelola Kemendikdasmen
Oleh karena itu, jika pemerintah ingin betul-betul mengelola sistem pendidikan secara utuh dan secara sistematis melalui satu sistem pendidikan nasional, baik itu SMA Unggul Garuda maupun Sekolah Rakyat hendaknya dikelola secara penuh oleh Kemendikdasmen.
“Sehingga anggaran Sekolah Rakyat yang juga jumbo setahu saya itu satu sekolah rakyat itu menelan biaya sampai Rp100 miliar. Targetnya 50 sekolah rakyat untuk satu tahun, begitu juga SMA Unggul Garuda ini anggarannya lebih baik di-refocusing ke Kemendikdasmen. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih, tidak terjadi pengelolaan pendidikan yang berlapis-lapis yang membuat bingung masyarakat,” urai Satriwan.
Jika ke depannya Sekolah Rakyat dan SMA Unggul Garuda dikelola oleh Kemendikdasmen, Satriwan meyakini perwujudan pendidikan dasar gratis bagaimana keputusan MK dapat dilakukan.
Tambah Dana BOS
“Bahkan kalau mau lebih ekstrem lagi, seandainya pemerintah Pak Prabowo tidak jadi membuat kebijakan Sekolah Rakyat, refocusing anggaran ke Kemendikdasmen ini itu bisa digunakan anggarannya untuk menambah dana BOS dan betul-betul mengimplementasikan keputusan MK secara konsekuen di lapangan gitu,” ujarnya.
Menurutnya, sampai detik ini dana BOS belum mencukupi kebutuhan pengeluaran sekolah mulai dari gaji guru, sarana-prasarana, dan banyak hal lainnya. Inilah yang menyebabkan sekolah terpaksa melakukan pungutan-pungutan kepada orangtua murid meskipun dilarang.
“Nah jadi saya rasa Sekolah Rakyat yang menelan APBN yang sangat jumbo itu bisa dialihkan kepada sekolah-sekolah swasta yang betul-betul membutuhkan selama ini dan bergantung hanya kepada dana BOS yang minim dan kalau pemerintah tetap bersikukuh ingin ada SMA Unggul Garuda dan sekolah rakyat, itu bisa-bisa saja saya pikir kemudian diatur dan dikelola secara baik oleh Kemendikdasmen,” urai Satriwan. (H-2)