Pukat UGM Pertanyakan Sangkaan Pasal Tipikor ke Insan Pers

3 hours ago 1
Pukat UGM Pertanyakan Sangkaan Pasal Tipikor ke Insan Pers Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (tengah)(ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

PENETAPAN Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar sebagai tersangka oleh penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan pasal perintangan proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terus menuai sorotan.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman sangsi jika perbuatan Tian sudah memenuhi kualifikasi obstruction of justice. Selain Tian, Kejagung juga menetapkan dua orang berlatar belakang advokat sebagai tersangka, yakni Marcella Susanto dan Junaedi Saebih.

Ketiganya dinilai telah melakukan permufakatan jahat dengan menggunakan produk jurnalistik sebagai alat untuk membentuk opini publik yang memengaruhi kerja penegak hukum, khususnya terhadap perkara korupsi tata niaga timah dan importasi gula.

Bagi Zaenur, hanya karena Tian dibayar untuk memproduksi berita yang mendiskreditkan proses penegakan hukum, bukan berarti perbuatan obstruction of justice otomatis terpenuhi.

"Kalau media dibayar untuk membuat opini-opini negatif terhadap aparat dan proses penegakan hukum yang sedang dijalankan, kalau itu kemudian dijerat dengan obstruction of justice, saya bertanya-tanya, apakah itu terpenuhi rumusan unsur dalam Pasal 21 (UU Tipikor)?" ujarnya kepada Media Indonesia, Kamis (24/4).

Zaenur berpendapat, jika dasar penyidik JAM-Pidsus dalam penetapan tersangka adalah niat jahat dalam membentuk opini publik, yang pertama harus dilakukan adalah membawa masalah tersebut ke Dewan Pers untuk menegakan kode etik jurnalisme. Kalaupun mau dijerat pidana, beleid dalam UU Tipikor dinilainya tidak cocok.

"Kemungkinan yang saya lihat bisa dijerat dengan menggunakan UU Nomor 11/1980 tentang Pidana Suap. Karena dalam UU itu, tidak terbatas pada penyelenggara negara, tetapi lebih luas, yaitu yang menyangkut kepentingan umum," terang Zaenur.

Menurutnya, pemberitaan dalam media massa menyangkut kepentingan umum. Oleh karena itu, jika pekerja media menerima pembayaran untuk menguntungkan diri sendiri dan menabrak kode etik jurnalistik serta merugikan kepentingan umum, rumusan hukumnya ada di UU Pidana Suap, bukan UU Tipikor.

Baginya, rumusan unsur Pasal 21 UU Tipikor soal obstruction of justice harus benar-benar sudah terpenuhi oleh perbuatan Tian, Marcella, dan Junaedi. Sementara, Zaenur sangsi bahwa produk jurnalistik mampu mencegah, merintangi, atau menggagalkan, proses hukum terhadap tersangka, terdakwa, maupun saksi perkara korupsi yang ditangani oleh Kejagung.

"Saya masih bertanya-tanya, apakah kemudian berita negatif itu bisa berdampak kepada gagalnya atau terganggunya atau tercegahnya upaya penyidkkan hingga tuntas?" kata Zaenur.

Dalam bayangan Zaenur, produk jurnalistik berpotensi masuk kualifikasi obstruction of justice jika secara terus-menerus memberitakan seorang saksi secara menyudutkan, padahal saksi itu diyakini memiliki informasi dan peran yang siginifikan terhadap sebuah perkara korupsi. Akibat berita-berita yang menyudutkan tersebut, saksi itu akhirnya enggan bahkan takut memberikan kesaksian.

"Sehingga menjadi tidak kooperatif dan kemudian penyidik mengalami hambatan karena saksinya dibunuh karakternya oleh media dengan sedemikian rupa dari hasil media yang dibayar. Nah, itu menurut saya mungkin bisa masuk pada obstruction of justice," paparnya. (Tri/P-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |