Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva(EVARISTO SA / AFP)
PRESIDEN Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengaku ngeri atas banyaknya korban tewas dalam operasi besar-besaran polisi terhadap geng narkoba di Rio de Janeiro, Brasil, yang disebut sebagai penggerebekan paling mematikan dalam sejarah kota tersebut.
"Presiden ngeri dengan banyaknya insiden fatal dan terkejut bahwa operasi sebesar ini dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah federal," kata Menteri Kehakiman Ricardo Lewandowski dikutip AFP, Kamis (30/10).
Kantor pembela umum negara bagian Rio de Janeiro sebelumnya mencatat sedikitnya 132 orang tewas dalam operasi itu, sementara laporan terbaru polisi menyebut 119 korban jiwa, termasuk 115 orang yang dikategorikan sebagai narkoteroris dan empat petugas polisi.
Meski sejumlah aktivis dan PBB menyoroti penggunaan kekuatan berlebihan, pemerintah negara bagian menyebut operasi ini sebagai keberhasilan dalam menekan dominasi geng Comando Vermelho, kelompok bersenjata besar yang telah menguasai sebagian wilayah Rio dalam beberapa tahun terakhir.
Setelah operasi berakhir, warga di favela Complexo da Penha menemukan puluhan jenazah di hutan pinggiran kota. Beberapa korban dilaporkan mengalami mutilasi, bahkan ada yang dipenggal.
"Negara datang untuk pembantaian, bukan operasi polisi. Mereka datang untuk membunuh," kata seorang warga yang enggan disebut namanya.
Dalam operasi yang melibatkan kendaraan lapis baja, helikopter dan drone itu, bentrokan sengit terjadi di jalanan sempit favela. Polisi dan anggota geng saling tembak-menembak sementara warga berlarian menyelamatkan diri.
Comando Vermelho sempat membakar puluhan bus untuk memblokade jalan raya utama dan menggunakan pesawat nirawak untuk menyerang polisi dengan bahan peledak.
Gubernur Claudio Castro menyebut penggerebekan terhadap narkoterorisme itu berhasil, meski empat petugas tewas.
Sekretaris polisi militer Marcelo de Menezes menjelaskan pasukan khusus sengaja mendorong para tersangka ke hutan di tepi favela untuk melindungi penduduk. Namun warga menuduh polisi melakukan eksekusi massal.
"Banyak korban ditembak di belakang kepala, ini bukan keselamatan publik," kata aktivis Raull Santiago.
Pengacara Albino Pereira Neto, yang mendampingi keluarga korban, menyebut beberapa jenazah memiliki luka bakar dan tanda-tanda penyiksaan.
"Beberapa dibunuh dengan darah dingin," ujarnya. (H-4)


















































