
DOSEN Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Hastanti Widy Nugroho, menilai pernyataan anggota DPR RI Ahmad Dhani yang mengusulkan agar pemerintah menganggarkan program naturalisasi pemain sepak bola senior dari negara lain untuk dijodohkan dengan perempuan Indonesia dan menghasilkan anak yang diharapkan dapat menjadi pemain bola andal sebagai pernyataan yang kontroversial.
Hastanti Widy Nugroho yang dikenal memiliki kepakaran di bidang feminisme ini menyoroti berbagai aspek problematis dalam pernyataan Ahmad Dhani tersebut, mulai dari kesalahpahaman konsep naturalisasi hingga pemikiran patriarkis yang diskriminatif terhadap perempuan. "Pernyataan ini, memberikan gambaran tentang cara berpikir Ahmad Dhani yang sangat patriarkis dan diskriminatif," ujarnya.
Kepada wartawan di kampus UGM, Jumat (7/3), Widy menegaskan, dalam hal feminisme peryataan Ahmad Dhani disebut sebagai misoginis, yaitu kebencian, penghinaan dan prasangka tidak baik terhadap perempuan.
Dia menjelaskan, perempuan di sini dipahami hanya sebatas urusan dapur, sumur, dan kasur, atau dalam bahasa biologinya, memahami perempuan sebatas urusan reproduksi. "Urusan poligami juga tahu-tahu dibawa ke urusan sepakbola. Kan aneh itu,” jelas Widy.
Widy sangat menyayangkan usulan seperti ini terlontar dari seorang anggota legislatif yang memiliki pengaruh dan posisi yang penting di Indonesia. Sebagai akademisi, yang saat ini mengampu mata kuliah Feminisme, Widy juga menyampaikan keprihatinannya atas mentalitas dan kualitas anggota dewan yang menunjukkan pemahaman yang minim terhadap hak perempuan.
“Kalau disebut out of the box, yang jadi pertanyaan ini box yang mana? Bisa dibayangkan betapa parahnya masyarakat patriarki berkuasa dengan model seperti ini. Jika orang seperti ini menjadi anggota dewan lalu dia memiliki pengikut dan kesempatan untuk mengampanyekan terus menerus nilai patriarkis ini, maka nasib perempuan Indonesia tidak bisa diharapkan lagi,” ucapnya.
Sedangkan pernyataan terkait warna kulit pemain sepak bola yang dinaturalisasi, menurut Widy, cenderung rasis. Selain itu, Ahmad Dhani juga dianggap gagal memahami konsep nasionalisme. Proses naturalisasi, terang Widy, bukanlah sebuah proyek reproduksi, yaitu mendatangkan orang asing untuk menghasilkan keturunan. Ketika seseorang memilih kewarganegaraan tertentu, hal itu seharusnya dilandasi oleh kecintaan terhadap tanah air leluhurnya atau tempat dia berada.
Widy, yang juga mengikuti perkembangan sepak bola di Indonesia, membandingkan pandangan Ahmad Dhani dengan pengalaman pemain sepak bola yang telah melalui proses naturalisasi. Ia mencontohkan bagaimana Maarten Paes memilih untuk menjadi Warga Negara Indonesia dan menangis ketika lagu Tanah Airku dikumandangkan.
“Itu bukan hanya karena neneknya tinggal di Kediri dan dia memiliki romantisme masa lalu dengan kota tersebut. Bukan hanya itu, tapi momen itu menunjukkan rasa cintanya pada tanah air yang sampai sekarang tentu dicintainya dengan sepenuh hati. Nah konsep itu yang Ahmad Dhani lupa atau tidak mengerti,” terangnya. (E-2)