
REGIONAL Implementation Global Reporting Initiative (GRI) ASEAN, Lany Harijanti, menyoroti pentingnya upaya membangun kesadaran perusahaan terkait pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan penyesuaian term human rights. Hal ini seringkali tidak diterima perusahaan. Menurutnya, mesti ada pilihan pendekatan yang tepat dalam integrasi bisnis dan hak asasi manusia (HAM) dalam kegiatan operasional perusahaan sehari-hari.
“Perlu ada pengawasan yang ketat pada perusahaan pada tier-tier paling bawah, yang seringkali terjadi praktik kerja paksa dan praktik pekerja anak, dalam skema rantai pasok dari hulu ke hilir,” ujar Lany saat menjadi panelis pada peluncuran laporan bertajuk Business and Human Rights (BHR) Outlook 2025: 10 Prioritas Isu Bisnis dan HAM di Indonesia yang berlangsung secara daring, Selasa (25/2).
Laporan yang diluncurkan oleh Setara Institute bersama Sustainable-Inclusive Governance Initiative (SIGI) ini memuat outlook dan forecast tentang situasi dan tantangan global dan nasional isu bisnis dan HAM.
Penanggap dari International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Michael Yudha Wiratno, menekankan pada aspek perlindungan pekerja migran yang tidak terlepas dari tiga pilar United Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Kondisi pekerja migran yang rentan dari praktik pelanggaran HAM menuntut perlindungan negara melalui serangkaian kebijakan dan peraturan.
Sementara itu, Armaen bin Abdullah, pekerja kemanusiaan di IOM, yang beberapa kali bertugas di wilayah konflik seperti Irak dan Ukraina, menjelaskan aspek lain dari permasalahan yang dihadapi PMI. Ia menekankan pentingnya perlindungan PMI di wilayah konflik.
“Pekerja migran ini bisa ada di mana pun, hampir di seluruh penjuru dunia, dan kalau kita melihat secara kualitatif banyak hal-hal yang menjadi isu yang dihadapi pekerja migran ini,” ujarnya.
Armaen menceritakan pengalamannya saat di Irak pernah menangani seorang PMI yang harus bersusah payah ingin masuk lagi ke negara itu akibat sudah terpisah dengan keluarganya. Ia juga pernah dihubungi seorang PMI yang bekerja di Kuwait yang secara ilegal menyeberangi perbatasan Irak melalui darat untuk mencari perlindungan dari pekerjaan sebelumnya.
“Saat ini saya di Ukraina, banyak pekerja migran Indonesia yang bekerja di wilayah-wilayah Ukraina ini, terutama daerah selatan. Mereka bekerja direkrut secara informal dari sektor hospitality,” ungkap Armaen.
10 Prioritas Bisnis dan HAM
Pada kesempatannya, peneliti bisnis dan HAM Setara Institute Nabhan Aiqani menjelaskan tujuan pemaparan 10 isu prioritas bisnis dan HAM di Indonesia, yang salah satunya terkait kepastian perlindungan pekerja migran. Rilis outlook BHR ini untuk mendorong semua pihak menaruh perhatian dan merancang agenda bersama. Menurutnya, hal itu untuk terus mendorong sektor bisnis mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM dalam operasionalisasnya.
Penetapan isu prioritas didasarkan pada kerangka risiko environment, social, and governance (ESG) dalam tata kelola bisnis, yang dihimpun dalam 10 isu prioritas bisnis dan HAM yang relevan.
- Memastikan terwujudnya tata kelola sektor perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur yang transparan.
- Mendorong skema perdagangan karbon yang berkeadilan, pencegahan perubahan iklim dan deforestasi.
- Memastikan jaminan perlindungan hak bagi pekerja sektor informal dan pekerja rumah tangga (PRT).
- Memastikan perlindungan pekerja dan serikat pekerja untuk mewujudkan decent work (pekerjaan yang layak).
- Bisa memastikan perlindungan pekerja migran di darat dan laut dari praktik pelanggaran HAM yang merugikan.
- Memastikan just transition dalam konteks just energy transition.
- Memastikan harmonisasi kebijakan perlindungan HAM dalam operasionalisasi bisnis.
- Mendorong penerapan kebijakan mandatori uji tuntas HAM.
- Mencegah sektor keuangan dalam pembiayaan proyek yang berpotensi melanggar HAM.
- Merespons secara serius upaya untuk mengintegrasikan bisnis dan HAM.
(E-3)