
ASOSIASI Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) menyatakan kondisi upah riil para pekerja maupun buruh telah menurun tajam sejak 2015. Hal tersebut dimulai ketika pemerintah saat itu mengganti formula penghitungan pengupahan melalui PP 78/2015 tentang Pengupahan.
"Kondisi upah murah itu mulai diberlakukan di tahun 2015. Pak Jokowi presidennya melalui diterbitkan PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Itu mulai politik upah murah itu berlaku," ujar Presiden Aspirasi Mirah Sumirat saat dihubungi, Selasa (29/4).
Melalui PP tersebut, komponen penghitungan upah hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Komponen survei pasar yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Nasional ditiadakan. Hal itu menjadi pijakan awal turunnya tingkat upah para pekerja maupun buruh.
Kondisi pertumbuhan upah yang kian rendah juga dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah saat pandemi covid-19 merebak. Di masa itu, pemerintah bahkan menghendaki sejumlah pengusaha untuk tak membayarkan upahnya kepada pekerja maupun buruh.
"Dewan Pengupahan Nasional itu sudah tidak difungsikan kalau menurut saya. Kemudian puncaknya adalah pada saat covid. Sehingga pemerintah memutuskan untuk tidak naik upah. Itu adalah suatu kecelakaan besar ketika pemerintah tidak menaikkan upah. Apa artinya, daya beli menjadi sangat rendah, turun drastis," kata Mirah.
"Bagaimana mau daya beli berjalan atau daya beli meningkat kalau upahnya tidak naik. Itu kalau menurut saya kecelakaan besar itu ya, musibah besar. Ini kemudian upah murah menjadi tidak terkendali," sambungnya.
Lepas dari pandemi, kondisi upah pekerja maupun buruh juga tak mengalami perubahan signifikan. Sebab, secara rerata kenaikan upah minimum hanya di kisaran 1%, sementara kenaikan harga-harga kebutuhan hidup mengalami lonjakan tinggi.
Kenaikan upah hingga 6,5% di tahun ini pun dirasa belum bisa mengompensasi atau menambal ketertinggalan pertumbuhan upah terhadap pertumbuhan biaya hidup.
"Itu kenapa kenaikan UMP 6,5% itu menjadi kurang mempengaruhi kenaikan daya beli," jelas Mirah.
Dia menduga karena praktik upah murah itu seolah didukung oleh pemerintah melalui kebijakannya, maka pemberi kerja mengoptimalisasi kesempatan tersebut. Maraknya penggunaan tenaga kerja alih daya (outsourcing) atau magang, misalnya, menjadi salah satu bukti nyata pelanggengan politik upah murah di sektor ketenagakerjaan nasional.
Sebab, dengan pekerja alih daya dan pekerja magang, pemberi kerja memberikan upah dan fasilitas yang jauh lebih murah ketimbang pekerja dengan status tetap. Belum lagi kondisi psikis masyarakat yang memaksa hingga akhirnya menerima status pekerja tidak tetap.
Hal lain yang menurut Mirah juga menjadi permasalahan di sektor ketenagakerjaan Indonesia ialah persyaratan usia lamar kerja. Ini juga diduga merupakan salah satu cara yang dipakai perusahaan untuk menekan kewajiban kepada pemberi kerja.
Padahal banyak korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih berada dalam kelompok usia produktif. Namun karena terhalang persyaratan usia, korban PHK kian sulit mendapatkan pekerjaan baru.
"Itu yang nggak masuk di akal menurut saya. Jadi perusahaan tidak melihat kemampuan atau skill yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan si perusahaan, tapi melihat tadi patokan umur, penampilan menarik, itu yang kemudian menyulitkan. Makanya kami menolak keras," pungkas Mirah. (Mir/M-3)