
PENGUATAN asas dominus litis dalam revisi KUHAP dinilai akan membuat penegakan hukum (gakkum) lebih efektif. Terlebih, dalam sistem hukum Indonesia, jaksa memegang kendali penuh dalam menentukan kelanjutan sebuah perkara.
Istilah dominus litis menegaskan peran jaksa sebagai otoritas utama dalam mengendalikan perkara, mulai dari pengawasan penyidikan hingga penuntutan di pengadilan. Demikian dikatakan dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Junaedi, dalam keterangannya, Senin (24/2).
"Konsep dominus litis yang diterapkan di banyak negara dengan sistem civil law harus semakin diperkuat di Indonesia. Dengan peran jaksa sebagai pengendali perkara, maka penegakan hukum bisa lebih efektif dan tidak terjebak dalam bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum yang selama ini sering terjadi," katanya.
Senada disampaikan dosen hukum acara FH UI Choky R Ramadhan. Menurut dia, hubungan antara penyidik dan jaksa di Indonesia masih lemah, terutama dalam tahap penyelidikan dan penyidikan awal.
Hal ini diperparah dengan tidak konsistennya pelaksanaan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) yang seharusnya dikirimkan oleh penyidik kepada penuntut umum.
Menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 130/PUU-XIII/2015, sambung dia, SPDP wajib dikirim paling lambat 7 hari sejak penyidikan dimulai. Namun, dalam praktiknya, jaksa sering kali tidak menerima pemberitahuan ini yang menyebabkan keterlambatan dalam supervisi terhadap penyidikan dan memperpanjang waktu penanganan perkara.
"Kurangnya koordinasi ini mengakibatkan banyak perkara yang tidak terselesaikan secara efektif. Di negara-negara lain seperti Prancis dan Belanda, jaksa memiliki kontrol lebih besar terhadap penyidikan untuk memastikan kelengkapan berkas sebelum dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini perlu kita adopsi dalam sistem hukum kita," ujarnya.
Sementara itu, pengamat hukum UI Febby Mutiara berpendapat, salah satu masalah terbesar dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah fenomena bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dan jaksa. Proses ini sering kali menghambat efisiensi peradilan dan memperpanjang waktu penyelesaian perkara.
"Di beberapa negara, jaksa tidak hanya sekadar menerima berkas perkara dari penyidik, tetapi juga berhak memberikan arahan penyidikan kepada polisi. Hal ini memungkinkan kasus dapat ditangani lebih cepat tanpa perlu berkali-kali mengembalikan berkas karena tidak lengkap," ucapnya.
Di lain pihak, Kejaksaan Agung (Kejagung) buka suara soal kritik masyarakat yang meminta agar revisi Undang-Undang Nomor 11/2021 tentang Kejaksaan dibatalkan. Sebab, revisi itu menyangkut penguatan kewenangan Korps Adhyaksa.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan, revisi UU Kejaksaan diperlukan untuk membuat kejaksaan di Indonesia menjadi institusi yang kokoh. Revisi kali ini menyasar soal peran kejaksaan sebagai dominus litis atau pengendali perkara.
"Dominus litis itu norma yang bersifat universal di seluruh dunia. Apa kita mau lari dari prinsip universal itu?" kata Harli di Kompleks Kejagung, Jakarta, Selasa (18/2).
Ia mengajak seluruh masyarakat untuk berpikir jernih dalam menanggapi upaya perbaikan UU Kejaksaan. "Masyarakat harus berpikir jernih, apalagi teman-teman media sebagai corong di depan. Jangan mau diprovokasi," terang dia.
Sebelumnya, mahasiswa yang menggelar aksi unjuk rasa Indonesia Gelap menolak rencana revisi UU Kejaksaan di samping revisi UU TNI dan revisi UU Polri. Demonstrasi itu digelar di kawasan Patung Kuda, Jakarta pada Senin (17/2).
Penolakan terhadap revisi UU Kejaksaan didasarkan oleh kewenangan tambahan terkait hak imunitas jaksa. Bagi mahasiswa, hak tersebut menyimpang dari prinsip persamaan di hadapan hukum. Sebab, semua warga negara dan aparat negara seharusnya tidak boleh mendapatkan imunitas hukum.
Adapun pakar hukum tata negara M Noor Harisudin memandang pemberian kewenangan berlebihan kepada kejaksaan dalam revisi KUHAP akan mengancam sistem keseimbangan peradilan, karena berpotensi mengakibatkan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). "Tanpa adanya perubahan signifikan, rancangan UU KUHAP itu berisiko mengancam keseimbangan dalam sistem peradilan," ujar M Noor. (Ant/P-2)