
ANALISIS komunikasi politik Hendri Satrio (Hensa) mengomentari soal deklarasi dukungan dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terhadap Presiden Prabowo Subianto untuk Pilpres 2029. Menurutnya, dukungan terlalu dini itu jadi tanda kuat reshuffle kabinet sudah dekat.
Hensa menuturkan dukungan tersebut bukan sekadar ekspresi loyalitas, melainkan strategi politik pragmatis untuk mengamankan kursi di kabinet.
"Ini strategi klasik. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka adalah sekutu yang loyal, dan dukungan yang dikeluarkan para partai besar ini sudah jelas bahwa reshuffle sebentar lagi akan berlangsung," ujar Hensa kepada wartawan, Minggu (4/5)
Hensa menuturkan deklarasi ini menunjukkan adanya 'kegaduhan politik' di antara partai koalisi yang berebut pengaruh. "Ini terlihat seperti mereka tahu kalau enggak gerak cepat, bisa kehilangan slot di kabinet," tegasnya.
Menurutnya, waktu deklarasi ketiga partai tersebut terlalu dini untuk konteks Pilpres 2029. Seharusnya, kata Hensa, partai-partai besar seperti Golkar, PAN, dan PKS memanfaatkan dihapuskannya presidential threshold menjadi 0 persen untuk lebih berani mengusung ketua umum mereka sebagai calon presiden.
"Pilpres 2029 masih jauh, dan dengan presidential threshold nol persen, partai-partai besar ini seharusnya punya nyali buat calonin ketum mereka," ungkap Hensa.
Hensa menyebut deklarasi yang terlalu dini bisa memunculkan persepsi bahwa partai-partai ini kurang memiliki visi jangka panjang.
"Kalau fokusnya hanya mempertahankan kursi, bisa-bisa kehilangan momentum pada saat Pilpres 2029 nanti, terlebih lagi publik saat ini semakin kritis," ujar Hensa.
Untuk itu, Hensa menyarankan publik juga terus menunggu apa reaksi dari Prabowo terkait dukungan tersebut.
"Prabowo punya gaya kepemimpinan yang suka kejutan. Bisa jadi reshuffle ini bukan cuma soal ganti menteri, tapi juga bikin peta politik baru. Kita lihat aja, apakah partai-partai ini beneran aman atau tidak," tandas Hensa. (P-4)