Ilustrasi.(ANTARA/NOVA WAHYUDI)
MESKI jumlah tersangka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) meningkat pada tahun ini, penerapan penegakan hukum di lapangan dinilai masih belum konsisten di seluruh daerah.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya menyampaikan bahwa jumlah tersangka karhutla tahun ini naik menjadi 83 orang. Pada saat yang sama, luas lahan terbakar justru menurun, dari 376 ribu hektare pada 2024 menjadi 213 ribu hektare pada 2025.
Kendati ada peningkatan dalam proses hukum, Guru Besar Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Bambang Hero Saharjo menilai penegakan hukum belum menjadi faktor utama turunnya angka kebakaran. Penurunan luas karhutla disebut lebih banyak dipengaruhi oleh kerja sama berbagai pihak dalam upaya pencegahan.
“Penurunan jumlah karhutla tidak didominasi oleh penegakan hukum, namun hasil karya semua pihak mulai dari pencegahan. Tentu saja, Gakkum punya dampak dalam penurunan jumlah kebakaran,” ujar Bambang saat dihubungi, Jumat (24/10).
Ia menjelaskan, pengendalian karhutla mencakup tiga tahapan, yakni pencegahan sebelum kebakaran terjadi, pemadaman ketika kebakaran berlangsung, serta penanganan pascakebakaran yang berfokus pada penegakan hukum dan pemulihan lahan. Penegakan hukum dilakukan melalui sanksi administratif, pidana, dan perdata terhadap pelaku, baik perorangan maupun korporasi.
Namun, penerapan hukum pidana di daerah dinilai belum berjalan seragam. Ada wilayah yang sangat tegas hingga kebakaran kecil pun diproses, sementara di daerah lain, kebakaran dengan luasan besar justru tidak ditindaklanjuti.
“Penegakan hukum pidana yang saya amati relatif tidak sama penerapannya di setiap kabupaten, kota, dan provinsi. Ada yang sangat intensif penegakan hukumnya sehingga lahan seluas 121 meter persegi pun diproses, sementara ada juga yang terbakar lebih luas lagi, bahkan hektaran, tetapi tidak diapa-apakan. Banyak hal yang memengaruhinya, seperti anggaran yang terbatas, keterbatasan ahli, butuh biaya tidak sedikit karena harus menggunakan hasil analisis laboratorium, dan perlu waktu lebih lama,” katanya.
Ia menambahkan, keterbatasan sumber daya dan kemampuan penyidikan membuat banyak penyidik memilih menggunakan pasal 187 dan 188 KUHP dibandingkan dengan ketentuan dalam undang-undang lingkungan hidup. Padahal, kasus kebakaran hutan dan lahan merupakan tindak pidana lingkungan yang membutuhkan pendekatan berbeda dari perkara umum.
“Untuk kasus yang melibatkan korporasi, para penyidik juga dihantui pikiran bahwa pelakunya akan bebas karena hal yang tidak substansial. Pernah ada putusan kasasi yang membebaskan korporasi, mulai dari putusan tingkat pengadilan negeri hingga kasasi, hanya karena perusahaan itu telah memasang plang bertuliskan larangan membakar,” ujarnya.
Bambang menilai lemahnya konsistensi penegakan hukum turut mengurangi efek jera, baik bagi pelaku individu maupun perusahaan. Padahal, dalam beberapa kasus, penegakan hukum terbukti mampu menghentikan operasional perusahaan karena harus menanggung biaya pemulihan lingkungan yang besar.
“Bahkan ada perusahaan yang menyerah karena tidak mampu membayar kerugian. Namun tidak sedikit pula korporasi yang sudah dinyatakan bersalah dan harus segera melakukan pemulihan hingga putusan PK, tetapi mengalihkan beban itu kepada ahli dengan menggugatnya ke pengadilan. Dan yang lebih menyedihkan, perusahaan tersebut didanai oleh pihak luar negeri,” pungkasnya.


















































