Penanganan Tuberkulosis di Indonesia Belum Pulih Pascapandemi

11 hours ago 4
Penanganan Tuberkulosis di Indonesia Belum Pulih Pascapandemi Ilustrasi(freepik.com)

KONDISI penanggulangan tuberkulosis (Tb) di Indonesia kian mengkhawatirkan. Alih-alih membaik pascapandemi, performa pengendalian Tb justru menunjukkan kemunduran tajam. Indonesia bahkan termasuk dalam 13 negara dengan penurunan performa penanggulangan TB lebih dari 60 persen selama pandemi. Hal itu diungkapkan Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN Masdalina Pane. 

Ia menyebutkan bahwa kondisi ini mencerminkan ketahanan sistem kesehatan yang lemah dalam menghadapi disrupsi berkepanjangan seperti pandemi covid-19. 

“Jika dibandingkan dengan data 2017-2018, lonjakan kasus TB yang ditemukan saat ini tidak sebanding dengan apa yang seharusnya kita temukan. Ini menunjukkan kegagalan sistem,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (2/5). 

Menurutnya, gangguan besar yang ditimbulkan pandemi telah melemahkan berbagai layanan kesehatan esensial, termasuk program TB yang sebelumnya menjadi prioritas nasional. Dalam dua tahun terakhir memang terjadi peningkatan pencarian kasus TB, namun hal itu justru diikuti dengan peningkatan signifikan jumlah insiden, bukan karena penyebaran makin luas, melainkan karena kasus lama yang tak terdeteksi selama pandemi mulai bermunculan.

“Sayangnya, meski ada perbaikan dalam case finding, target penemuan kasus belum tercapai. Ini menunjukkan bahwa program TB kita benar-benar terpukul, dan belum pulih,” jelas Masdalina.

Ia menambahkan, ketertinggalan Indonesia semakin mencolok jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Tiongkok dan India—dua negara dengan beban TB tertinggi di dunia—yang justru telah menunjukkan tren pemulihan yang sejalan dengan tren global hanya dalam waktu satu hingga dua tahun pascapandemi.

Masdalina menyoroti bahwa disrupsi layanan kesehatan akibat pandemi merupakan bentuk kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM) yang memperburuk kemampuan sistem untuk menjalankan fungsi dasarnya. Dalam kasus TB, efek KKM sangat jelas terlihat, dari sistem pencatatan, pelacakan, hingga pengobatan yang tertunda.

Kondisi ini juga menggambarkan betapa sistem kesehatan Indonesia belum memiliki kapasitas ketahanan (resilience) yang memadai. Padahal, menurut Masdalina, sistem yang tangguh seharusnya mampu memulihkan diri, beradaptasi, dan tetap menjalankan fungsi kritis meskipun berada dalam tekanan ekstrem seperti pandemi.

“Kita gagal menjadikan pandemi sebagai momentum untuk membangun sistem kesehatan yang lebih kuat dan berkelanjutan,” tegasnya.

Masalah TB, lanjut Masdalina, hanyalah salah satu cermin dari lemahnya sistem kesehatan kita. Campak, misalnya, yang semula ditargetkan dieliminasi pada 2023, harus diundur ke 2026 akibat stagnasi program vaksinasi selama pandemi.

Masdalina menyimpulkan bahwa perbaikan indikator kesehatan pasca-KKM tidak bisa hanya bergantung pada ketahanan semata, tetapi perlu upaya sistemik dan terkoordinasi lintas sektor. Tanpa itu, penyakit seperti TB akan terus menjadi ancaman besar bagi ketahanan kesehatan masyarakat Indonesia. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |