
Terhitung hampir tiga bulan buron kasus KTP-E, Paulus Tannos ditangkap oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura, pada 17 Januari 2025. Sejak penangkapan tersebut, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan proses ekstradisi namun hingga saat ini belum ada kejelasan terkait pemulangan buron kasus KTP-E itu.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rohman mengatakan waktu dari proses ekstradisi akan ditentukan dari mampu tidaknya pemerintah Indonesia bernegosiasi dan meyakinkan pemerintah Singapura terkait pemulangan tersebut.
“Ada syarat-syaratnya, dan syarat-syaratnya itu sudah diproses oleh pemerintah Indonesia, namun bisa atau tidaknya diekstradisi itu tergantung kebijakan pemerintah Singapura,” katanya kepada Media Indonesia, hari ini.
Ekstradisi ini merupakan pengalaman pertama bagi Indonesia dalam proses pemulangan narapidana dari Singapura setelah kedua negara menandatangani perjanjian ekstradisi pada tahun 2022.
“Bola itu sekarang ada di pemerintah Singapura, bukan di Indonesia. Kita hanya bisa ikut, sekarang tinggal menonton saja, tidak bisa diapa-apain,” imbuh Zaenur.
Menurut Zaenur, kebijakan ekstradisi merupakan otoritas sebuah negara yang tak dapat diintervensi kecuali dengan negosiasi kedua negara.
“Tinggal menunggu apa yang dilakukan oleh pemerintah Singapura terhadap permohonan yang diajukan oleh pemerintah Indonesia untuk ekstradisi itu,” ujarnya.
“Apakah kemudian Singapura bisa diyakinkan dengan syarat-syarat yang diajukan itu atau tidak bisa diyakinkan? Kalau pemerintah Indonesia tidak bisa meyakinkan mereka, ya sudah selesai,” sambung Zaenur.
Kendati demikian, Zaenur menekankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih bisa mencari tahu kelanjutan terkait pelaku-pelaku lain yang berpotensi terlibat dalam korupsi KTP-E.
“Masih ada kemungkinan-kemungkinan untuk melanjutkan pelaku-pelaku yang lain. Dana korupsi E-KTP itu mengalir ke banyak sekali orang, itu disebut di dalam dakwaan KPK pertama kali namun sampai sekarang tidak diproses,” katanya
Zaenur menilai, KPK masih relevan menggunakan metode follow the money/assets yang menurutnya efektif dalam penegakan hukum untuk mengungkap pelaku-pelaku lain dalam korupsi KTP-E.
“KPK harus proses itu dengn prinsip asas kesamaan di hadapan hukum. Kalau follow the money sudah dari dulu KPK melakukan itu dan masih harus terus dilakukan sehingga berani sebut siapa dapat berapa, siapa dapat berapa. Jika KPK menyebutnya di dalam dakwaan, harus diikuti dengan penyidikan,” tandansya. (Dev/P-1)