Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia (kiri) berbincang dengan Ketua DPD Partai Golkar Kalimantan Timur Rudy Mas'ud (kanan) saat pembukaan Musyawarah Daerah ke-XI Partai Golkar(Antara Foto)
DOSEN Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menegaskan bahwa pembuat meme Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia tidak bisa dipidana menggunakan delik umum. Sebab delik pencemaran nama baik bersifat delik aduan sehingga hanya pihak yang merasa dirugikan secara langsung yang berhak melapor.
“Laporan terhadap pengunggah meme itu hanya bisa dilakukan oleh pihak yang bersangkutan, bukan oleh orang lain atau lembaga. Dan pelapor harus menjelaskan delik umumnya di unsur apa dan bagaimana,” kata Feri dalam keterangannya, Sabtu (25/10).
Lebih jauh, Feri mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah menegaskan bahwa lembaga atau institusi tidak bisa mengklaim menjadi korban dan melaporkan delik terkait pencemaran nama baik.
“Apalagi sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa institusi atau kelembagaan lain tidak bisa merasa nama baiknya dicemarkan, karena pencemaran nama baik itu delik yang berkaitan dengan person,” tegasnya.
Terlepas dari itu, Feri menekankan bahwa unggahan meme di media sosial merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, selama tidak menabrak norma moral dan hukum yang jelas.
“Pengunggahan meme itu bagian dari kebebasan berekspresi. Tapi tentu saja kebebasan itu tidak boleh menghilangkan unsur moralitas,” ucapnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa sebagai pejabat publik, Bahlil seharusnya tidak terlalu reaktif terhadap kritik publik, apalagi sampai membawa kasus itu ke ranah hukum.
“Tapi kan begini, Pak Bahlil ini bukan person biasa, dia adalah pejabat publik. Poin saya sebenarnya, Pak Bahlil sedang mendapatkan kritik luar biasa dari publik. Tinggal pilihannya menyerang kembali publik atau kemudian melaporkan publik,” kata Feri.
Ia menilai, pejabat publik sebaiknya menanggapi kritik dengan membuka dialog dan menjelaskan kebijakan, bukan dengan melaporkan masyarakat.
“Saran saya, pilihan bagi pejabat publik adalah menampung aspirasi dan kritik itu, bukan melaporkan kembali,” tegasnya.
Menurut Feri, langkah yang lebih tepat bagi pejabat publik menjawab kritik dengan kinerja dan komunikasi terbuka.
“Lebih baik dijawab dengan menunjukkan program kerja. Dengan begitu, kritik bisa jadi masukan, bukan ancaman,” pungkasnya. (H-4)


















































