Pembentukan RUU KUHAP Kental dengan Perspektif Otoritas dan Nihilkan Aspirasi Publik

7 hours ago 3
Pembentukan RUU KUHAP Kental dengan Perspektif Otoritas dan Nihilkan Aspirasi Publik Ilustrasi.(dok.MI)

PAKAR Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) seperti mini konstitusi yang harus diatur secara komprehensif. Dikatakan bahwa proses RUU KUHAP sangat urgent untuk menentukan efektivitas tidaknya sistem penegakan hukum yang ada.

“Jadi persoalan negara hukum itu sebenarnya dua hal saja yaitu pertama, hukum adalah hak asasi manusia. Kedua, semua kekuasaan dan kewenangan harus dibatasi. RUU KUHAP akan jadi penanda penting bagi hukum dan demokrasi,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Rakyat (RDPR) Akademisi dan Praktisi ‘Menggugat RKUHAP 2025: Revisi KUHAP untuk Siapa?’ pada Senin (21/7). 

Perspektif Otoritas?

Bivitri lantas menegaskan bahwa RUU KUHAP tidak bisa dirancang hanya dengan menggunakan perspektif otoritas, namun harus didasari pada tujuan melindungi hak asasi warganegara.  

“Dalam konteks hukum tata negara, kita tidak bisa berhenti pada bagaimana tatanan institusi negara, tapi semua ukuran hukum tata negara konstitusionalisme adalah warganegara. Pada akhirnya yang harus diukur adalah warga, bagaimana agar warga bisa diberikan akses bantuan hukum yang fair,” jelasnya. 

Kurang Partisipatif?

Selai itu, Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia itu mengkritik pembahasan RUU KUHAP yang jauh dari makna partisipasi bermakna dan kerap kali mengkerdilkan makna keterlibatan masyarakat luas dalam penyusunan Undang-Undang.

“Akhir-akhir ini, koalisi masyarakat sipil tidak mau masuk ke DPR karena setiap pertemuan seringkali diklaim sebagai rapat dengan pendapat umum. Bahkan kalau bertemu dalam konteks yang lebih privat atau bukan rapat besar seperti rapat resmi di DPR pada umumnya, begitu masuk MK seringkali diklaim sebagai partisipasi bermakna. Itu yang mau kita lawan,” tuturnya. 

Ugal-Ugalan?

Bivitri juga menyoroti proses legislasi oleh anggota DPR yang belakangan ini kerap kali berlangsung ugal-ugalan dengan menihilkan partisipasi publik yang bermakna. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya UU yang digugat ke MK. 

“Saya minggu lalu memberikan keterangan ahli di Mahkamah Konstitusi untuk uji formil UU BUMN. Dua minggu sebelumnya uji formil UU TNI. Sebulan sebelumnya uji formil UU KSDAHE. Tapi, poin saya adalah kenapa formil, formil, formil? Karena proses legislasi kita memang ugalan-ugalan betul,” jelasnya.

Peran Korban?

Menurut Bivitri, anggota DPR sering kali memaknai partisipasi bermakna sebagai kuantitas pertemuan dengan masyarakat sipil atau pihak terkait. Ia juga mengkritik DPR yang hanya mendefinisikan partisipasi publik dengan mengundang para pakar, namun kerap kali menihilkan peran korban atau masyarakat terdampak. 

“Pengalaman korban itu tidak bisa tergantikan jadi seringkali yang dilakukan oleh DPR adalah mengecilkan partisipasi bermakna hanya dengan menghadirkan guru-guru besar, tetapi korban tidak didengar dan tidak dianggap penting. Padahal kita semua tahu partisipasi bermakna itu ada hak untuk didengar dipertimbangkan dan mendapatkan jawaban atas pertimbangan kita,” imbuhnya. 

Luar Gedung?

Selain itu, Bivitri menceritakan momen saat Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengundang perwakilan koalisi untuk audiensi di dalam Gedung DPR. Koalisi menolak lantaran ingin diskusi dilakukan di luar gedung.

"Segitu culasnya menurut saya anggota legislatif sekarang. Sampai akhirnya kita yang harus mengajak keluar, karena kalau kita diundang ke dalam pertemuan privat pun akan diklaim, ‘kami sudah partisipatif karena kami sudah ketemu dengan anggota koalisi tanggal segini, segini, segini.’ Padahal, itu bukan yang namanya partisipasi bermakna,” ucap Bivitri.

DIM KUHAP?

Sebelumnya pada Kamis (10/7), Komisi III DPR bersama pemerintah secara resmi merampungkan pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHAP.  Sebanyak 1.676 DIM rampung dibahas hanya dalam waktu dua hari sejak Rabu (9/7). Dari jumlah itu, sebanyak 1.091 DIM bersifat tetap dan 295 DIM redaksional.

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman yang juga Ketua Panja RKUHAP menjelaskan dari total 1.676 DIM, ada 68 DIM yang diubah, 91 DIM dihapus, dan 131 DIM dengan substansi baru. (Dev/P-3) 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |