Ilustrasi(Dok Humas KAI)
RENCANA pemerintah membangun jaringan kereta api di luar Pulau Jawa amat penting untuk memperkuat sistem angkutan logistik, distribusi hasil sumber daya alam, serta angkutan massal penumpang.
"Kami mengapresiasi langkah tersebut. Rencana Presiden Prabowo ini sejalan dengan upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi ke berbagai wilayah Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa," kata anggota komisi VII DPR Bambang Haryo Soekartono, Rabu (5/11).
Menurut pemilik sapaan akrab BHS itu, pembangunan jaringan kereta api sebenarnya sudah dimulai sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu, pengembangan difokuskan pada empat pulau besar yakni, Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, dengan total panjang rel mencapai sekitar 7.300 kilometer.
“Sebagai contoh, di Pulau Sumatera telah dibangun sekitar 2.200 kilometer jalur rel untuk transportasi publik dan logistik massal. Konsep ini sebenarnya sudah mengarah pada sistem kereta Trans Sumatra,” jelasnya.
BHS berharap pemerintah, khususnya Kementerian Perhubungan, dapat melanjutkan kembali pembangunan sistem rel konvensional di luar Jawa sebagai salah satu prioritas nasional.
“Saya berharap pemerintah bisa mempertimbangkan pembangunan rel kereta api konvensional di Sumatra yang belum terealisasi sepanjang sekitar 1.300 kilometer, untuk menyambungkan jalur Trans Sumatra dari Lampung hingga Aceh,” kata BHS.
Ia menambahkan jika biaya pembangunan rel kereta api diperkirakan sekitar Rp40 miliar per kilometer, total kebutuhan dana untuk menyelesaikan proyek Trans Sumatra hanya sekitar Rp52 triliun.
“Dengan modal sebesar itu, Indonesia sudah bisa memiliki jaringan kereta api Trans Sumatra yang strategis bagi konektivitas logistik nasional,” tegasnya.
BHS menambahkan pemerintah juga bisa mengadakan tambahan 100 rangkaian kereta api (rolling-stock) seharga sekitar Rp100 miliar per rangkaian atau total sekitar Rp10 triliun, dengan rangkaian kereta api terdiri dari rangkaian kereta penumpang kapasitas 10 gerbong, termasuk lokomotif. Juga, sebagian bisa digunakan untuk kereta barang (logistik) dengan rangkaian 30 gerbong kereta barang, beserta lokomotifnya per rangkaian.
"Dengan manfaat itu, sudah bisa dipastikan kereta api konvensional mampu memindahkan jutaan penumpang tiap tahun serta seluruh logistik sumber daya alam dan agrikultur yang jumlahnya miliaran ton logistik per tahun dari hasil wilayah Sumatra," ungkapnya.
Begitu pula, Trans Sulawesi sepanjang 1.750 km dengan biaya kilometer panjang rel tidak lebih dari Rp60 triliun, jauh lebih kecil tetapi berdampak besar bagi ekonomi wilayah sekitar.
Dengan begitu, ekonomi di Pulau Sulawesi akan berkembang pesat dengan adanya logistik sumber daya alam seperti agrikultur dalam jumlah miliaran ton dan penumpang jutaan per tahun dapat diangkut transportasi massal kereta api di Sulawesi. Ini akan membuat mobilitas logistik dan penumpang lebih efektif dan murah.
"Dengan biaya tidak lebih dari Rp200 triliiun, Trans Sumatea dan Trans Sulawesi dapat terealisasi untuk membangun ekonomi di sekitar 10 provinsi di Sumatra dan 6 provinsi di Sulawesi, sehingga pertumbuhan ekonomi akan menggeliat, dan tentu akan terjadi pemerataan ekonomi akibat adanya transportasi publik massal tersebut."
"Sebab, yang lebih bisa menumbuhkan ekonomi adalah perpindahan logistik yang cepat dalam jumlah besar daripada perpindahan penumpang,” jelasnya.
Di sisi lain, ia menyampaikan, pembangunan sistem kereta api di provinsi Aceh sangat mendesak demi mengantisipasi pembangunan infrastruktur pelabuhan yang terintegerasi dengan kawasan industri. Juga, untuk berkompetisi dengan Singapura dan Malaysia yang telah lama menguasai sebagian besar logistik di Selat Malaka dan Selat Sunda sebagai ALKI 1.
"Dengan potensi pasar Singapura dan Malaysia masing-masing 30 juta Teus per tahun dan ditambah wacana pembangunan selat Kra di Thailand, kita harus berusaha mengambil pasar itu dengan membuat sistem transportasi kereta api di Sumatra," ujarnya.
Tujuannya, agar bisa mengangkut bahan mentah (raw material) menuju industri penghasil bahan jadi di Sumatra dan didistribusikan ke Jawa dan wilayah domestik serta pasar ekspor setelahnya.
BHS pun berharap pemerintah meninjau kembali untuk memprioritaskan kereta api konvensional sebagai transportasi massal karena perpindahan logistik dan penumpang dengan jumlah jauh lebih besar akan mempercepat pemerataan ekonomi seluruh Indonesia.
"Setelah kereta api seluruh Indonesia tercukupi, baru kita bicara soal kereta cepat untuk Jakarta-Surabaya, bahkan hingga ke Banyuwangi," pungkas dia.(H-2)


















































