
GURU Besar Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK UGM), Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK(K), menekankan pentingnya penanganan pertama yang cepat dan tepat ketika siswa menunjukkan gejala keracunan makanan. Hal tersebut merespon banyaknya kasus keracunan setelah mengonsumsi makan bergizi gratis (MBG).
“Muntah dan diare dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit. Langkah paling penting dalam pertolongan pertama adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang untuk mencegah dehidrasi,” kata Tri Wibawa dalam siaran pers dari Humas UGM, Kamis (9/10).
Dosen Mikrobiologi Klinik ini menyarankan agar penderita banyak minum air putih atau cairan dengan suplemen elektrolit. “Jika muntah masih terjadi, minum sedikit demi sedikit. Jika kondisi memburuk, segera cari pertolongan dari petugas kesehatan,” tambahnya.
Tidak menutup kemungkinan gejala demam muncul saat keracunan, itu merupakan mekanisme alami tubuh dalam melawan infeksi. Peningkatan suhu tubuh membantu memperlambat pertumbuhan bakteri serta mengoptimalkan kerja sistem imun.
“Demam membantu mengendalikan infeksi dengan memberi tekanan panas pada patogen dan meningkatkan efektivitas sistem kekebalan tubuh,” paparnya.
Meski begitu, untuk mencegah terjadinya keracunan, Tri mengingatkan pengawasan ketat terhadap seluruh rantai produksi makanan MBG sangat penting, mulai dari pemilihan bahan, penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi.
“Setiap tahap proses dapat menjadi titik masuk bagi bakteri, virus, jamur, atau parasit penyebab keracunan. Karena itu, standar kebersihan harus diterapkan secara optimal,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pemahaman masyarakat terhadap perbedaan antara alergi dan keracunan, serta upaya preventif terjadinya keracunan makanan menjadi kunci untuk mencegah risiko fatal. “Kata kuncinya adalah menjaga mutu bahan dan proses, menaati standar kebersihan, dan segera bertindak tepat ketika gejala muncul,” tutur dia.
Perbedaan Alergi dengan Keracunan
Tri Wibawa pun menjelaskan soal perbedaan antara alergi dan keracunan makanan. Hal itu masih berkaitan dengan peristiwa banyak siswa yang sakit setelah mengonsumsi makan bergizi gratis (MBG). Menurutnya, alergi makanan dan keracunan memiliki penyebab dan mekanisme yang sangat berbeda.
“Alergi makanan merupakan reaksi sistem kekebalan tubuh yang terjadi segera setelah mengonsumsi makanan tertentu. Bahkan dalam jumlah kecil, makanan pemicu alergi dapat menyebabkan gejala seperti biduran, pembengkakan saluran pernapasan yang memicu asma, hingga gangguan pencernaan,” ujar dia.
Dalam beberapa kasus, reaksi alergi dapat berujung pada kondisi yang mengancam jiwa yang dikenal sebagai anafilaksis. Sementara itu, keracunan makanan bukan disebabkan oleh reaksi sistem imun, melainkan akibat masuknya kuman atau zat berbahaya dalam makanan atau minuman yang dikonsumsi.
“Keracunan makanan biasanya menimbulkan gejala seperti sakit perut, muntah, dan diare, yang muncul beberapa jam hingga hari setelah mengonsumsi makanan tersebut,” terangnya.
Tri menambahkan, sebagian besar kasus keracunan bersifat ringan dan dapat sembuh tanpa pengobatan khusus, tetapi dalam kondisi tertentu dapat berakibat serius jika tidak segera ditangani. Namun pada kasus keracunan, ia menyebutkan bahwa bakteri seperti Salmonella sp dan Escherichia coli (E. coli) memiliki mekanisme yang berbeda dalam menyebabkan keracunan makanan.
Salmonella patogenik dapat bertahan dari asam lambung dan menyerang mukosa usus, memicu peradangan serta luka pada dinding usus. Bakteri E. coli penghasil toksin Shiga (Shiga toxin-producing E. coli / STEC) dapat menyebabkan penyakit tular makanan yang parah.
“Meskipun gejalanya mirip, mekanisme penyebabnya berbeda-beda tergantung jenis bakterinya,” tukasnya.(M-2)