
GURU Besar Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Bambang Waluyo menekankan bahwa dominus litis merupakan kewenangan yang melekat pada kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Hal tersebut ia sampaikan saat Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta.
Salah satu isu utama yang diangkat dalam diskusi ini adalah konsep dominus litis yang menempatkan jaksa penuntut umum (JPU) sebagai pihak yang mengendalikan perkara pidana.
"Jaksa itu sebagai penuntut umum. Mulai dari penyidikan itu sudah memantau sidang sampai pelaksanaan pidana itu yang antar ke LP (lapas) itu jaksa," ujar Bambang, melalui keterangannya, Selasa (25/2).
Ia menilai dalam proses peradilan pidana, jaksa memiliki tanggung jawab penuh terhadap tersangka maupun terdakwa, mulai dari tahap penyidikan hingga persidangan.
"Pada logikanya, yang bertanggung jawab terhadap tersangka, terdakwa, sampai ke pengadilan itu adalah jaksa penuntut umum," tegasnya.
Ia juga menguraikan peran masing-masing pihak dalam sistem hukum pidana.
"Penasihat hukum bertanggung jawab untuk membela klien. Hakim memutus berdasarkan apa yang disampaikan oleh penuntut umum dan dibela oleh penasihat hukum," jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Bambang juga menyoroti pentingnya revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah digunakan sejak 1981.
"KUHAP kan sudah dibuat tahun 1981. Ini dulu dari zaman Belanda namanya HIR 1981. Sekarang disesuaikan dengan perkembangan hukum yang ada, politik, dan sebagainya," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa rancangan KUHAP yang baru tetap mempertahankan prinsip dominus litis bagi jaksa demi memastikan sistem peradilan yang lebih efektif dan berkeadilan.
Lebih lanjut, Bambang juga membahas perbedaan peran antara kepolisian dan kejaksaan dalam sistem hukum Indonesia. Menurutnya, kepolisian tetap menjalankan fungsi utama sebagai penyidik, sedangkan jaksa memiliki kewenangan tambahan dalam kasus-kasus tertentu.
"Jaksa itu penyidik kalau perkara korupsi, perkara pelanggaran HAM berat itu Jaksa Agung dan sebagainya. Jadi sesuai dengan undang-undang masing-masing," terangnya.
Ia memberikan contoh bahwa dalam perkara korupsi, jaksa tidak hanya bertindak sebagai penuntut, tetapi juga dapat melakukan penyidikan.
"Kalau perkara korupsi misalnya, jaksa boleh menyidik tapi juga menuntut. Tapi kalau Pak Polisi, ini perkara apa saja ya, dia menyidik saja," tambahnya. (M-3)