
KETUA Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorok - Bedah Kepala dan Leher (Perhati-KL) Cabang DKI Jakarta Tri Juda Airlangga menekankan pentingnya deteksi dini gangguan pendengaran pada anak.
Tri menyampaikan bahwa orangtua sering kali tidak menyadari gejala gangguan pendengaran pada anak.
"Itu karena mereka menganggap (gangguan pendengaran) suatu yang tidak kelihatan, kalau mata kelihatan nih matanya keruh atau katarak. Kalau pendengarnya kan pada umur 1-6 bulan nangisnya sama, kayaknya enggak apa-apa deh," katanya.
"Nah, biasanya setelah umur satu atau dua tahun kok anak saya (dibandingkan) sama anak tetangga sebelah, kok dia udah banyak ngomong tapi anak saya belum ya. Itu juga menjadi hal yang pas ketahuan, baru terdeteksi," tambahnya.
Dia mengemukakan bahwa gangguan pendengaran akan menimbulkan masalah komunikasi, karenanya penting untuk dideteksi sejak dini.
Menurut dia, orangtua bisa memeriksakan bayi ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan sebelum berusia satu bulan untuk mengetahui kemungkinan adanya gangguan pendengaran.
"Sebelum satu bulan sebaiknya sudah ter-skrining, tiga bulan sudah harus terdeteksi, enam bulan harus sudah tertata-laksana, kalau ada gangguan mau diapain nih anaknya," kata Tri, menjelaskan penerapan program 1-3-6 dalam penanganan gangguan pendengaran.
"Intinya tumbuh kembangnya harus kita perhatikan juga pada usia-usia dini. Jadi semakin dini kita deteksi, semakin baik intervensi yang bisa dilakukan," lanjutnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada 2030 ada lebih dari 500 juta orang yang mengalami gangguan pendengaran dan membutuhkan rehabilitasi serta lebih dari satu miliar anak muda yang berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat paparan suara keras. (Ant/Z-1)