Ilustrasi MK(Antara)
AKTIVIS perempuan sekaligus Direktur Sarinah Institute, Eva Kusuma Sundari menegaskan pentingnya mengembalikan dan memperkuat norma hukum keterwakilan perempuan minimal 30% di posisi pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) DPR.
“Jika melihat angka keterwakilan perempuan di DPR periode 2019-2024 sebesar 21%, distribusi jabatan strategis sangat timpang,” ujar Eva di Jakarta, Kamis (30/10).
Ia menjelaskan, proporsi perempuan di posisi pimpinan AKD DPR masih jauh di bawah ambang batas 30%, bahkan ada beberapa AKD yang sama sekali tidak memiliki perempuan di jajaran pimpinan. Kondisi ini dinilai stagnan atau bahkan menurun dibanding periode sebelumnya.
“Dampaknya, isu strategis yang menyangkut perempuan, anak, dan kelompok rentan sering tersisih dari prioritas pembahasan di DPR,” tutur Eva, yang juga menjadi saksi ahli dalam perkara terkait keterwakilan perempuan.
Menurutnya, banyak partai politik hanya retoris dalam mendukung kesetaraan gender, namun praktiknya masih mengabaikan perempuan dalam pembagian jabatan strategis.
“Partai menjadi gerbang pertama diskriminasi, dan ketiadaan norma hukum membuat pintu itu semakin sulit ditembus,” ucapnya.
Eva menilai, partai politik perlu mengakhiri pola pikir patriarki yang masih mendominasi proses seleksi pimpinan AKD.
“Penentuan pimpinan AKD bukan hasil seleksi terbuka berdasarkan kompetensi, melainkan berdasar preferensi yang bias gender,” tegasnya.
Lebih lanjut, Eva menjelaskan bahwa angka 30% bukan simbol semata, melainkan hasil penelitian global yang menunjukkan titik signifikan bagi perempuan untuk memengaruhi arah kebijakan.
“Di bawah angka itu, perempuan hanya menjadi minoritas simbolis atau token representation yang sulit mengubah arah kebijakan,” imbuhnya.
Ia menyoroti peran strategis pimpinan AKD dalam menentukan arah kebijakan DPR, mulai dari agenda rapat, prioritas legislasi, hingga alokasi anggaran.
“Atas dasar itu, jika perempuan absen di posisi itu, perspektif perempuan akan sulit masuk ke kebijakan strategis, meski jumlah anggota perempuannya meningkat,” jelas Eva.
Menurutnya, menempatkan perempuan di posisi strategis bukanlah bentuk belas kasihan, melainkan pengakuan terhadap kapasitas dan hak politik perempuan untuk menghentikan diskriminasi struktural yang telah berlangsung lama.
“Keterwakilan perempuan yang memadai memastikan kebijakan mencerminkan kebutuhan seluruh rakyat, bukan hanya setengahnya,” ujarnya.
Eva menegaskan kembali bahwa norma 30% perempuan di pimpinan AKD DPR harus diperkuat, karena menjadi bagian penting dari upaya memperbaiki kualitas demokrasi.
“Norma itu menjadi koreksi terhadap ketidakadilan struktural yang selama ini dihadapi perempuan di dunia politik, dan menjadi alat hukum untuk melawan praktik diskriminasi terhadap kader perempuan,” pungkasnya.
Sementara itu, Pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Titi Anggraini, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan keterwakilan perempuan minimal 30% di seluruh alat kelengkapan dewan (AKD) DPR.
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia itu menyebut putusan tersebut sebagai tonggak penting dalam sejarah perjuangan kesetaraan gender dan demokrasi representatif di Indonesia.
“Kami, para pemohon yang terdiri dari Koalisi Perempuan Indonesia, Perludem, Kalyanamitra, dan saya sendiri amat bersyukur dan menyambut dengan penuh apresiasi keputusan MK yang mengabulkan seluruh permohonan kami,” ujar Titi saat dikonfirmasi, Kamis (30/10).
Menurut Titi, substansi dari permohonan ini bukan sekadar tentang posisi atau jabatan di parlemen, melainkan menyangkut keadilan konstitusional dan penghormatan terhadap prinsip negara hukum yang menjamin kesetaraan dan nondiskriminasi. (Dev/I-1)


















































