
PERDANA Menteri (PM) India Narendra Modi, bersumpah akan merespons dengan keras terhadap setiap “serangan teroris” di masa depan. Modi memperingatkan New Delhi tidak akan mentolerir “pemerasan nuklir”, jika terjadi konflik lebih lanjut dengan Pakistan.
Dalam pidato televisi kepada bangsa, Modi mengatakan Pakistan telah memilih untuk menyerang ketimbang membantu India dalam memerangi “terorisme”.
“Jika terjadi serangan teroris lagi terhadap India, maka akan ada respons yang kuat,” ujarnya.
Gencatan senjata akhir pekan yang diklaim Presiden Amerika Serikat Donald Trump berhasil dia bantu mediasi tampaknya masih bertahan hingga Senin, setelah empat hari serangan intens dari jet tempur, rudal, drone, dan artileri. Trump mengatakan intervensi AS telah mencegah “perang nuklir yang buruk”.
“Kami menghentikan konflik nuklir… jutaan orang bisa saja terbunuh. Jadi saya sangat bangga akan hal itu,” katanya kepada wartawan di Gedung Putih.
Konflik ini dipicu oleh serangan pada 22 April terhadap para turis di wilayah Kashmir yang dikuasai India, yang menewaskan 26 warga sipil. India menuduh Pakistan mendukung serangan itu, tetapi Islamabad membantah keterlibatan apa pun.
Menuju Perang
Eskalasi menuju perang total ini dimulai sebelum fajar, Rabu, saat India meluncurkan serangan rudal yang menghancurkan apa yang disebutnya sebagai “kamp teroris” di wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan.
Masing-masing pihak lalu saling menuduh melancarkan gelombang serangan pesawat tempur, drone, serta tembakan rudal dan artileri, yang menewaskan sedikitnya 60 orang di kedua sisi.
“Jika Pakistan ingin bertahan hidup, maka ia harus menghancurkan infrastruktur terornya,” ujar Modi pada hari Senin.
“India akan menyerang dengan presisi dan ketegasan terhadap kelompok teroris yang berlindung di balik dalih pemerasan nuklir.”
“Sikap India sangat jelas. Teror dan dialog tidak bisa berjalan bersama... Teror dan perdagangan tidak bisa berjalan bersama... Air dan darah tidak bisa mengalir bersama.”
Pidato tersebut disampaikan setelah militer India melaporkan “malam pertama yang tenang dalam beberapa hari terakhir” di wilayah Kashmir yang disengketakan serta sepanjang perbatasan barat dengan Pakistan.
Eskalasi kekerasan ini merupakan yang terburuk sejak konflik terbuka terakhir antara kedua negara pada 1999, dan memicu kekhawatiran global bahwa konflik bisa berubah menjadi perang penuh.
Kedua pihak bahkan saling menuduh melanggar gencatan senjata hanya beberapa jam setelah Trump secara tak terduga mengumumkan gencatan senjata tersebut melalui media sosial pada hari Sabtu.
Kedua Pihak Klaim Sukses
Pejabat tinggi militer dari India dan Pakistan mengadakan pengarahan pada Minggu malam, dengan masing-masing pihak mengklaim keunggulan dan menyatakan siap merespons jika terjadi serangan baru.
“Kami telah memenuhi janji yang kami buat kepada rakyat kami,” kata juru bicara militer Pakistan, Letnan Jenderal Ahmed Sharif Chaudhry, menyebut operasi terbaru sebagai “kesuksesan di medan perang.”
“Kami sejauh ini telah menunjukkan pengendalian diri yang luar biasa, dan tindakan kami bersifat terfokus, terukur, dan tidak memicu eskalasi,” kata Letnan Jenderal India Rajiv Ghai.
Pakistan mengklaim telah menembak jatuh lima jet tempur India.
Pada Senin, warga mulai kembali ke Poonch, sebuah kota perbatasan di wilayah India yang merupakan salah satu daerah yang paling parah terkena dampak. Ribuan sekolah tetap ditutup di wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan karena daerah-daerah masih dibersihkan dari puing-puing akibat serangan, menurut pejabat setempat Naveed-Ul-Hassan Bukhari.
Sementara itu, India kembali membuka 32 bandara, yang sebelumnya ditutup akibat konflik, menurut pihak berwenang.
Kelompok militan meningkatkan aktivitasnya di Kashmir sejak 2019, ketika pemerintahan nasionalis Hindu pimpinan PM Narendra Modi mencabut otonomi terbatas wilayah tersebut dan memberlakukannya langsung di bawah kendali New Delhi.
Kashmir yang mayoritas penduduknya Muslim diklaim sepenuhnya oleh kedua negara, yang telah berperang beberapa kali atas wilayah itu sejak kemerdekaan mereka dari Inggris tahun 1947.
Pejabat senior dari Pakistan dan India dilaporkan telah berbicara untuk memperkuat gencatan senjata yang tengah berlangsung. Abdul Basit dari S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura mengatakan bahwa pertemuan itu bertujuan membahas teknis pelaksanaan gencatan senjata, bukan keputusan kebijakan.
Tujuannya adalah untuk “menghindari salah perhitungan, karena saat ini satu percikan saja bisa dengan cepat berkembang menjadi bencana nuklir,” kata Basit kepada kantor berita AFP. (AFP/Z-2)