Pekerja menyelesaikan pesanan produk tekstil untuk ekspor di pabrik PT Sari Warna Asli Tekstil (Sari Warna) Solo, Jawa Tengah(Antara/Maulana Surya)
MENTERI Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa Indonesia siap menjadi mitra strategis sekaligus pusat inovasi dan pertumbuhan global industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Hal tersebut disampaikan dalam pidatonya pada kegiatan ITMF (International Textile Manufacturers Federation) & IAF (International Apparel Federation) World Fashion Convention Annual Conference 2025.
"Indonesia hadir bukan sekadar sebagai tuan rumah, tetapi sebagai mitra strategis yang siap berperan aktif dalam memajukan industri tekstil global. Sektor TPT Indonesia telah terbukti tangguh, adaptif, dan kompetitif di tengah ketidakpastian global," ujar Agus dikutip dari siaran pers yang diterima, Sabtu (25/10).
Pada kesempatan tersebut, ia juga menyampaikan bahwa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terus tumbuh dan tidak lagi berstatus 'sunset industry'. Pasalnya, selama tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dari triwulan IV 2024 hingga triwulan II 2025, industri TPT menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,39% dan berkontribusi sebesar 0,98% terhadap PDB nasional Indonesia.
"Kementerian Perindustrian berupaya menjaga momentum pertumbuhan ini dengan menerapkan beberapa kebijakan kunci yang disusun untuk memperkuat daya saing, menumbuhkan investasi, dan mengakselerasi transformasi industri TPT," ujarnya.
Kebijakan pertama, Kemenperin terus berupaya memberikan kemudahan dan kepastian dalam berinvestasi. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, pemerintah telah menyederhanakan proses bisnis melalui sistem Online Single Submission (OSS) yang telah diperbarui untuk mamastikan prosedur yang lebih cepat, lebih transparan, dan dapat diprediksi.
Kebijakan kedua, lanjut Agus, Kemenperin menjalankan program Restrukturisasi Mesin dan Peralatan untuk mendukung penggantian mesin lama dengan peralatan modern yang hemat energi bagi industri TPT. Sejak dimulai, program ini telah meningkatkan kapasitas produksi sebesar 21,75%, efisiensi energi sebesar 11,86%, lapangan kerja sebesar 3,96%, dan volume penjualan sebesar 6,65%.
Kebijakan ketiga yakni dengan menyalurkan skema Kredit Industri Padat Karya. Skema ini memberikan akses pembiayan fasilitas di tahun 2025 hingga Rp20 Trilun sehingga mampu membantu sekitar 2.000 hingga 10.000 perusahaan industri, termasuk produsen tekstil dan apparel, untuk berekspansi dan mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja.
Adapun kebijakan keempat, pemerintah juga tengah memberikan Fasilitas Masterlist untuk impor barang modal. Agus menjelaskan, kebijakan ini dapat memberikan jaminan pengecualian bea masuk untuk barang modal yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan keberlangsungan produksi.
Terakhir, pemerintah memberikan insentif fiskal, meliputi including tax holidays, tax allowances, investment allowances, dan super deduction tax untuk perusahaan yang berinvestasi pada riset dan pengembangan serta pendidikan vokasi.
Kebijakan-kebijakan tersebut, tambah Agus, merupakan inisiatif pemerintah untuk menegaskan kembali komitmen kami dalam mendukung ekosistem industri tekstil yang tangguh, berkelanjutan, dan berdaya saing global.
"Dalam kondisi ini, industri TPT tetap menjadi pilar strategis dari basis manufaktur industri, serta berperan penting dalam menjaga pertumbuhan yang inklusif, menciptakan lapangan kerja, dan menopang kehidupan negeri ini,” jelasnya.
Daya saing produk TPT Indonesia terlihat di salah satu pasar tujuan ekspor terpenting, yaitu Amerika Serikat. Produk TPT asal Indonesia dengan HS 61 (pakaian dan aksesori rajutan) menduduki peringkat sebagai komoditas surplus perdagangan terbesar kedua Indonesia, dengan nilai US$1,86 miliar, bahkan melampaui alas kaki (HS 64) yang hanya mencapai US$1,85 miliar.
Menurutnya, hal ini menegaskan daya saing dan ketahanan sektor TPT Indonesia yang berkelanjutan dan mampu memberikan posisi menguntungkan bagi Indonesia untuk memanfaatkan pengaturan tarif resiprokal dengan Amerika Serikat baru-baru ini.
Di samping itu dirinya juga mengungkapkan, di tingkat dunia, Indonesia masuk dalam lima besar produsen tekstil paling efisien. Di subsektor pemintalan benang misalnya, biaya produksi Indonesia mencapai US$2,71 per kilogram, lebih efisien daripada India, Tiongkok, dan Turki, serta setara dengan Vietnam dan Bangladesh. Sedangkan di subsektor pertenunan, Indonesia mencatat biaya US$8,84 per meter, salah satu yang terendah di dunia. Di sektor fabric finishing, biaya produksinya mencapai US$1,16 per meter, lebih rendah daripada sebagian besar pesaing regional.
Di era transformasi besar-besaran, tantangan iklim, pergeseran geopolitik, disrupsi digital, dan restrukturisasi rantai pasok, Indonesia percaya bahwa peluang tetap ada.
"Dengan sumber daya yang melimpah, kebijakan industri yang adaptif, sumber daya manusia yang terampil, Indonesia kembali menegaskan kesiapannya untuk menjadi mitra terpercaya industri tekstil global dalam membangun pertumbuhan berkelanjutan hingga dekade-dekade berikutnya. Indonesia siap menjadi pusat inovasi, manufaktur, dan pertumbuhan tekstil global,” tegas Agus.
Di kesempatan sama, Ketua Umum API Jemmy Kartiwa menyampaikan konferensi ini merupakan momentum penting para pemangku kepentingan industri tekstil dan fashion seluruh dunia, saling kolaborasi, unjuk inovasi, dan teknologi di tengah ketidakpastian global dan sinergi kebijakan pemerintah.
Oleh karena itu, Jemmy menyampaikan apresiasi kepada pemerintah yang saat ini terus berjuang melahirkan regulasi-regulasi yang ditujukan bagi kepentingan industri padat karya, tekstil, dan produk tekstil domestik.
"Dengan kuatnya perlindungan kebijakan pemerintah, maka posisi industri Indonesia akan semakin kuat menghadapi persaingan global yang penuh tantangan perubahan rantai pasok dan perdagangan dunia," tandasnya. (Fal/E-1)


















































