
SEPULUH tahun kebersamaan dengan Manchester City merupakan perjalanan panjang bagi Kevin de Bruyne. Ketika ia memutuskan untuk mengakhiri kariernya di Stadion Etihad, itu pasti bukanlah sebuah keputusan yang mudah.
Namun, playmaker asal Belgia itu sudah menyatakan pamit kepada pelatih Josep Guardiola. Di usia yang memasuki 33 tahun, kapten kesebelasan itu menyadari saatnya untuk undur diri. Di era speed and power game, usia tidak mungkin dikompromikan. Pada musim yang baru saja berakhir, KDB lebih banyak duduk di bangku cadangan karena cedera yang menderanya.
Padahal, 10 tahun kebersamaannya dengan the Citizens penuh dengan cerita manis. Sebanyak 19 trofi yang ikut ia persembahkan merupakan lembaran emas bagi perjalanan kariernya sebagai pemain sepak bola, termasuk saat membawa Manchester City pertama kali memenangi Piala Liga Champions dan mencetak treble.
Ia tidak ingin perjalanan karier yang hebat kemudian ditutup oleh cerita yang pahit. Kehebatannya di lapangan tengah sirna dan diganti dengan keibaan melihat pemain yang semakin tua itu tidak lagi berdaya. Pada musim ini, untuk pertama kalinya dalam satu dekade the Citizens tidak mampu mengangkat piala.
Ketika pada 21 Mei lalu KDB memainkan pertandingan terakhirnya untuk Manchester City di Stadion Etihad, semua orang melepasnya dengan penuh kebanggaan. Apalagi KDB berhasil menyelamatkan the Citizens untuk menempati peringkat ketiga Liga Primer sehingga berhak untuk tetap tampil pada Liga Champions musim mendatang.
PUTUSAN PELIK
Keputusan mundurnya KDB menjadi persoalan yang tidak kalah peliknya bagi Pep Guardiola. Sosok KDB merupakan kunci kesuksesannya memimpin Manchester City. Kemampuan untuk menerjemahkan taktik dan strategi yang ia terapkan tidak bisa dilakukan oleh semua orang.
Itu terlihat dari bagaimana the Citizens sering menghadapi kebuntuan saat KDB tidak bisa tampil. Pemain sekelas Ilkay Guendogan atau Bernando Silva pun tidak secemerlang KDB ketika harus memimpin di lapangan.
Namun, Pep Guardiola menyadari bahwa dirinya tidak bisa hanya bergantung pada KDB. Ia harus melakukan peremajaan dan membangun sebuah tim baru agar prestasi Manchester City bisa terus gemilang.
Dilema kepentingan jangka panjang dan jangka pendek sering kali dihadapi pengelola klub. Itu dialami dalam pengelolaan seluruh cabang olahraga. Sering kali keinginan untuk mempertahankan gelar terpaksa meninggalkan peremajaan.
Salah satu cerita yang paling fenomenal ialah apa yang dialami Chicago Bulls di kompetisi NBA. Situasi itu digambarkan dalam film berjudul The Last Dance. Ketika itu Bulls dengan Michael Jordan ingin membuat sejarah besar untuk menciptakan three-peat kedua mereka.
Belum ada klub basket yang mampu menjadi juara tiga kali berturut-turut pada dua periode yang berbeda. Jordan yang sedang berada dalam puncak kejayaannya diyakini bisa melakukan itu. Syaratnya, ia harus didukung pemain yang sama dan terutama tandemnya, Scottie Pippen.
Salah satu yang menentang ide itu General Manager Jerry Krause. Ia berpandangan, daripada mempertahankan Pippen, lebih baik Bulls mencari pemain baru yang kelak akan sama hebatnya seperti Jordan dan Pippen.
Namun, taruhannya sejarah besar yang sudah di depan mata. Pandangan 'never change a winning team' justru lebih menguat. Perubahan seperti yang diusulkan Krause justru akan membuyarkan harapan yang tinggi itu.
Tekanan pendukung Bulls membuat Krause akhirnya menyerah. Ia mempertahankan tim juara, termasuk Pippen di dalamnya. Bulls benar-benar mencatat sejarah dengan menjadi klub basket terbaik Amerika Serikat periode 1991-1998 dan hanya sekali gagal juara saat Jordan memutuskan untuk pensiun.
Cerita kehebatan Jordan dan Bulls tidak pernah habis sampai sekarang ini. Tidak ada klub yang lebih hebat daripada Bulls pada saat Jordan dan Pippen masih bermain bersama di Chicago.
Namun, peringatan yang disampaikan Krause akan keberlanjutan prestasi klub juga tidak keliru. Sudah lebih dari 25 tahun sejak era Jordan berakhir, Bulls tidak pernah bisa lagi menjadi yang terbaik di NBA.
MENJAGA KESEIMBANGAN
Menjaga keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang itulah yang menjadi tantangan pembinaan olahraga. Kemampuan untuk terus melahirkan bintang muda dan mengorbitkannya bersama pemain yang sudah matang harus dilakukan secara mulus dan berkelanjutan.
Banyak klub sepak bola yang kesulitan untuk mempertahankan prestasi besar. AC Milan, Ajax Amsterdam, Manchester United, dan Barcelona membutuhkan waktu yang lama untuk bisa mengembalikan prestasi mereka.
Kondisi itu harus juga menjadi pemikiran pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Harus dipikirkan bagaimana kelanjutan prestasi tim nasional setelah penyisihan Piala Dunia 2026 ini. Apakah mungkin cara pendekatan naturalisasi terus menjadi andalan untuk menjaga prestasi tim nasional?
Kita selalu mengingatkan perlunya diperhatikan pembinaan sepak bola dalam negeri karena tidak mungkin hanya mengandalkan pemain diaspora yang jumlah pemainnya terbatas. Perlu ada regenerasi yang berkelanjutan karena belum tentu ada yang benar-benar menjadi bintang dari pembinaan yang dilakukan sekarang.
Barcelona butuh dua atau tiga generasi sebelum menemukan pemain berbakat seperti Lamine Yamal. Dari Lionel Messi hingga Yamal sempat muncul beberapa calon bintang, tetapi mereka segera meredup sebelum menjadi bintang besar.
Setelah kelak era Jay Idzes berakhir, siapa yang dipersiapkan sebagai penggantinya? Apakah kita hanya akan menunggu munculnya diaspora yang gemilang saat dibina klub di negara lain? Kita menugasi agen-agen untuk menemukan pemain bagi tim nasional.
Seharusnya kita yang bekerja keras untuk membina dan melahirkan bintang sepak bola itu. Cara pendekatan seperti itu terbukti bisa dilakukan Jepang dan Korea Selatan dalam membangun sepak bola mereka.
Memang jalan itu membutuhkan perjuangan. Dibutuhkan tenaga dan pikiran yang besar untuk bisa menjalankannya. Namun, hanya dengan jalan seperti itulah prestasi akan bisa didapatkan.