MBG Strategi Pembangunan Manusia Menuju Indonesia Emas 2045

3 hours ago 4
MBG Strategi Pembangunan Manusia Menuju Indonesia Emas 2045 (MI/Seno)

INSIDEN keracunan makanan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyita perhatian masyarakat. Hingga September 2025, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 4.711 kasus keracunan, sedangkan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan menyebut jumlah korban mencapai 6.452 anak. Ini angka kritis, menyangkut keselamatan anak bangsa.

Namun, menjadikan insiden ini sebagai alasan menolak MBG berarti menutup peluang besar Indonesia mempersiapkan generasi emas. Justru seharusnya fenomena ini bisa dijadikan momentum bagi negara dan masyarakat untuk berbenah bersama: memperketat pengawasan, memperbaiki standar distribusi, dan mengawal implementasi agar program MBG berjalan aman dan efektif.

GIZI ADALAH FONDASI KECERDASAN, PRODUKTIVITAS, DAN DAYA SAING BANGSA

Mengapa MBG penting? Karena gizi adalah fondasi kecerdasan, produktivitas, dan daya saing bangsa. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 memang mencatat angka stunting nasional turun dari 21,5% menjadi 19,8% di 2023. Namun, itu masih berarti satu dari lima balita Indonesia mengalami hambatan pertumbuhan kronis. Angka ini jauh dari target pemerintah 14,2% pada 2029. Tanpa langkah luar biasa seperti program MBG, target tersebut sulit dicapai.

Bonus demografi adalah jendela kesempatan yang hanya datang satu kali. Jika anak-anak kita hari ini tumbuh dengan gizi buruk, maka pada tahun 2045 mereka akan menjadi generasi rapuh. Indonesia pun terancam menghadapi fenomena aging before prospering: menua sebelum makmur.

Saat ini, 11,75% penduduk Indonesia atau sekitar 32 juta orang adalah lansia. Pada tahun 2045, jumlah penduduk lansia diperkirakan naik menjadi 20% dari populasi.

Jika fondasi sumber daya manusia (SDM) usia produktif tidak dibangun sekarang, maka Indonesia akan memikul beban ganda: kekurangan tenaga produktif tangguh penopang ekonomi bangsa dan--ketika memasuki era aging society--menanggung beban meningkatnya pembiayaan sosial bagi penduduk lansia. Ini beban sangat berat dan ini risiko yang harus kita antisipasi bersama.

Pertanyaan pentingnya: kalau bukan MBG, apa alternatif lain bagi pemerintah dalam memastikan setiap anak Indonesia mendapat gizi layak? Realitasnya, tidak semua keluarga mampu menyediakan makanan sehat, terutama di wilayah miskin dan 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Data Bappenas menunjukkan rumah tangga miskin menghabiskan 65% pendapatan mereka untuk pangan, sebagian besar hanya karbohidrat seperti beras dan mi instan. Protein hewani, susu, dan sayur segar sering tidak terjangkau.

Pun, ternyata masalah gizi tidak hanya terkait dengan soal kemiskinan. Di kota-kota besar, banyak keluarga mampu justru abai. Pola makannya semburat: pokoknya mahal, mewah, ala Eropa. Anak-anak kenyang junk food, tetapi miskin nutrisi. Ini menunjukkan bahwa ketimpangan gizi bisa lahir dari gaya hidup konsumtif dan lemahnya kemampuan memilih makanan sehat, meskipun daya beli tinggi.

Kondisi ini semua semakin mengafirmasi bahwa intervensi negara adalah kebutuhan, bukan pilihan. MBG merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi hak dasar anak atas gizi, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Sebagian akademisi hukum dan hak asasi manusia (HAM) mengkritik bahwa MBG melanggar prinsip realisasi progresif sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005) dan Pasal 28I ayat 4 UUD 1945. Kritik ini valid, terutama jika melihat tata kelola MBG yang penuh celah: keracunan massal, keterlibatan pihak yang tidak transparan, hingga potensi politisasi anggaran.

Namun, di sisi lain, prinsip realisasi progresif justru bisa dibaca sebaliknya: menunda atau menghentikan MBG adalah langkah regresif. Negara tidak boleh mundur dari kewajiban memenuhi hak anak atas gizi dan kesehatan. Jika ada kelemahan, solusinya ialah memperkuat pengawasan, memperbaiki standar distribusi, dan menjamin akuntabilitas publik. Menolak MBG sama saja membiarkan jutaan anak Indonesia tumbuh tanpa fondasi gizi yang kuat.

Terkait dengan pendapat bahwa pendidikan gratis lebih prioritas jika dibandingkan dengan makan gratis, pandangan itu keliru jika melihat realitas di lapangan: pendidikan tanpa gizi hanya menghasilkan kelas yang dipenuhi siswa-siswi lapar. Coba tengok India melalui Midday Meal Scheme sejak 1995. Mereka berhasil meningkatkan partisipasi sekolah, sekaligus memperbaiki status gizi anak. Artinya, MBG bukan pesaing pendidikan, melainkan prasyarat agar pendidikan bermakna. Anak yang sehat, kenyang, dan bergizi seimbang adalah syarat pertama agar investasi pendidikan berhasil guna.

Jika menengok ke negara lain, intervensi serupa sudah terbukti efektif. Jepang, pasca-Perang Dunia II, memperbaiki kualitas SDM dengan program makan siang sekolah (Kyuushoku). Korea Selatan melakukannya sejak 1950-an, dan kini menurut laporan SOFI Statistics (2023), prevalensi stunting di negara itu berada di kisaran 1,7%-2,2%, salah satu yang terendah di Asia Timur. Selain itu, ada Brasil dengan Fome Zero yang berhasil menurunkan kelaparan drastis melalui distribusi makanan bergizi di sekolah.

Semua contoh tersebut memberi pesan jelas: negaralah yang harus serius membangun SDM.

Masyarakat tentu berhak kritis. Keracunan pangan adalah alarm keras agar pengawasan MBG harus serius. Namun, mari jernih melihat persoalan: masalah ada pada kualitas pelaksanaan, bukan pada gagasan dasarnya. Lebih baik memperbaiki protokol keamanan daripada membatalkan investasi terbesar untuk masa depan bangsa. MBG bukan sekadar program makan gratis. Ia adalah strategi pembangunan manusia, jembatan menuju Indonesia Emas 2045.

KOMITMEN NEGARA

Untuk memastikan strategi besar ini berjalan efektif, pengawasan tidak bisa lagi dilakukan secara konvensional. Diperlukan sistem yang lebih terbuka, partisipatif, dan berbasis data. Di sinilah teknologi digital dapat memainkan peran penting dalam menelusuri rantai distribusi pangan, memantau keamanan produk, serta membuka kanal aduan masyarakat secara real-time.

Namun, di balik itu, perhatian negara terhadap anak seharusnya tidak berhenti pada pemenuhan gizi semata. Perlindungan anak juga perlu mencakup kesehatan mereka di ruang digital agar tumbuh kembang yang sehat di dunia nyata sejalan dengan keamanan dan kesejahteraan mereka di dunia maya. Dengan demikian, program MBG tidak hanya memperhatikan program gizi, tetapi juga menjadi komitmen negara dalam membangun generasi yang sehat secara fisik dan terlindungi secara digital.

Kita perlu mengingat pepatah sederhana bahwa ‘bangsa yang kuat dimulai dari anak yang sehat’. Jika hari ini kita abai, maka dua dekade lagi kita hanya akan menyaksikan bonus demografi lewat, meninggalkan generasi rapuh, dan menanggung era aging before prospering. Dan, itu adalah harga yang terlalu mahal untuk sebuah bangsa.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |