MBG: Mereformasi Kebijakan  untuk Hindari Krisis di Masa Depan

1 day ago 4
 Mereformasi Kebijakan  untuk Hindari Krisis di Masa Depan (Dokpri)

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan Presiden Prabowo Subianto adalah sebuah ambisi monumental. Dengan target 82 juta penerima manfaat--mulai dari pelajar hingga santri--dan klaim capaian 30 juta anak dalam waktu singkat, program ini menyedot anggaran fantastis, sekitar Rp1,2 triliun per hari. Skala anggarannya menyaingi anggaran pendidikan nasional, menjadikannya program sosial terbesar dalam sejarah Indonesia modern.

Secara konsep, MBG adalah investasi strategis. Data BPS 2023 yang menunjukkan 21,6% anak Indonesia mengalami stunting membuktikan bahwa intervensi gizi adalah sebuah keniscayaan. Namun, niat mulia ini terkoyak oleh realita di lapangan. Maraknya kasus keracunan massal, dari Jawa Tengah hingga Sulawesi Selatan, bukanlah insiden biasa. Ini adalah gejala dari cacat sistemik dalam desain kebijakan, dan jika tidak diatasi, akan melahirkan krisis yang lebih besar ke depan.

Akar masalah

Masalah utama MBG terletak pada arsitektur kelembagaannya yang terlalu sentralistik. Dengan menempatkan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai operator pusat, program ini menciptakan birokrasi baru yang mahal, lamban, dan terputus dari realitas lokal. 

Kebijakan pengadaan katering secara nasional menciptakan tiga distorsi yang saling terkait:

Pertama, insentif yang salah. Perusahaan katering besar terdorong menekan biaya produksi untuk menjaga margin keuntungan, seringkali mengorbankan kualitas, kesegaran, dan keamanan pangan.

Kedua, pemutusan rantai nilai lokal. Sekolah, guru, dan orang tua—pihak yang paling memahami kebutuhan anak—tersingkirkan dari proses penentuan menu dan pengawasan. Akuntabilitas di tingkat akar rumput pun hilang.

Ketiga, rentan korupsi dan inefisiensi. Nilai kontrak triliunan rupiah yang dikelola secara terpusat membuka ruang luas untuk praktik mark-up, kolusi, dan penyalahgunaan anggaran.

Model ini tidak hanya gagal menyajikan makanan sehat, tetapi juga mengikis potensi ekonomi lokal. Alih-alih memberdayakan petani, nelayan, dan koperasi di sekitar sekolah, aliran dana rakyat justru mengalir deras ke korporasi katering besar. Program yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi rakyat justru berpotensi memperlebar ketimpangan.

Solusi

Untuk menyelamatkan MBG dari kegagalan jangka panjang, pemerintah harus berani melakukan reformasi fundamental dengan fokus pada desentralisasi dan pemberdayaan.

Pertama, alihkan pengelolaan ke tingkat sekolah. Pemerintah pusat seharusnya berperan sebagai regulator, bukan operator. Mekanisme block grant atau hibah langsung yang dikelola secara mandiri oleh sekolah bersama komite (yang melibatkan perwakilan guru dan orang tua) adalah kuncinya. Model ini memastikan menu sesuai konteks lokal, bahan pangan lebih segar, dan pengawasan lebih ketat karena dilakukan oleh pihak yang berkepentingan langsung.

Kedua, integrasikan dengan kebijakan pangan lokal. Pemerintah harus menetapkan kuota wajib, misalnya 40%, bagi sekolah untuk membeli bahan pangan dari petani dan pelaku UMKM setempat. Langkah ini menciptakan sinergi ganda: menjamin kesegaran makanan bagi anak sekolah sekaligus menyuntikkan stimulus bagi perekonomian daerah. Kita dapat mencontoh kesuksesan Brasil dalam Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE) yang sukses membangun kedaulatan pangan melalui mekanisme serupa.

Ketiga, bangun sistem pengawasan dan regulasi yang kokoh. Standar gizi dan keamanan pangan yang jelas harus ditetapkan, diiringi dengan mekanisme pengaduan publik yang responsif dan audit independen yang tidak hanya mengecek laporan keuangan, tetapi juga kualitas nutrisi dan kepuasan penerima manfaat.

Keempat, terapkan uji coba terbatas (pilot project). Daripada langsung menerapkan secara masif, pemerintah sebaiknya memulai dengan uji coba di beberapa daerah yang mewakili kondisi geografis dan sosio-ekonomi berbeda. Hasil evaluasinya dapat menjadi dasar untuk menyempurnakan model sebelum replikasi nasional, meminimalisir risiko kegagalan yang lebih besar.

Kesimpulan

Pemerintah kini berada di persimpangan. Masa depan MBG akan ditentukan oleh pilihan politik: apakah akan terus dipertahankan sebagai program sentralistik yang rawan krisis, atau diubah menjadi program berbasis komunitas yang akuntabel.

Memberi makan anak sekolah bukan sekadar urusan logistik, melainkan cerminan komitmen terhadap pembangunan manusia. Keberhasilan program ini tidak diukur dari seberapa banyak anggaran yang dikucurkan, atau seberapa cepat angka penerima manfaat membumbung, tetapi dari kualitas nutrisi yang benar-benar tersaji di piring setiap anak.

Jika Presiden Prabowo menginginkan warisan kebijakan yang bermakna, maka MBG harus direformasi. Percayakan pada komunitas, bangun sistem yang transparan, dan integrasikan dengan penguatan ekonomi lokal. Hanya dengan cara itu, MBG dapat bertransformasi dari sekadar proyek politik yang mahal menjadi landasan kokoh bagi generasi Indonesia yang lebih sehat, cerdas, dan berdaulat.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |