Masih Blokade Bantuan Gaza, Israel Diprediksi Jadi Negara Paria

5 hours ago 1
Masih Blokade Bantuan Gaza, Israel Diprediksi Jadi Negara Paria Warga Gaza melakukan salat jenazah korban yang dibunuh tentara Israel.(Dok Al-Jazeera)

DUA hari setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan pencabutan pengepungan terhadap Jalur Gaza Palestina, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa Negeri Zionis masih menghambat distribusi bantuan kemanusiaan ke wilayah yang dilanda kelaparan tersebut. 

Juru bicara Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), Jens Laerke, mengungkapkan dalam konferensi pers di Jenewa bahwa hanya lima truk bantuan yang berhasil masuk ke Gaza hingga Selasa (20/5) sore. Mirisnya bantuan tersebut tidak bisa didistribusikan karena belum mendapat izin dari otoritas Israel.

Laerke menambahkan bahwa Israel telah menyetujui sekitar 100 truk tambahan, tetapi belum memberi lampu hijau agar kendaraan tersebut dapat menyeberang masuk ke Gaza. 

Jumlah ini sangat minim jika dibandingkan dengan kebutuhan harian Gaza sebelum konflik pecah, yaitu sekitar lima kali lipat dari angka tersebut.

"Bahkan pengiriman simbolis itu belum bisa mengurangi krisis kelaparan yang kian memburuk setelah lebih dari 11 minggu pengepungan hampir total," katanya seperti dilansir The Guardian, Rabu (21/5).

Meski pejabat Israel yang bertanggung jawab atas bantuan mengeklaim bahwa 93 truk telah masuk ke Gaza pada Selasa (20/5), mereka belum memberikan kejelasan mengenai muatan berupa makanan dan obat-obatan itu telah diizinkan untuk dibagikan atau tidak.

Kritik internal

Kondisi genting ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk tokoh politik Israel sendiri. 

Yair Golan, pemimpin Partai Demokrat Israel yang juga mantan wakil kepala staf militer, menyatakan bahwa tindakan Israel telah menjadikan negara itu seperti paria internasional dan menyamakan kondisi saat ini dengan rezim apartheid Afrika Selatan. 

"Negara yang waras tidak terlibat dalam pertempuran melawan warga sipil, tidak membunuh bayi sebagai hobi, dan tidak menjadikan pengusiran penduduk sebagai tujuan," katanya dalam wawancara dengan Radio Reshet Bet.

Komentar tajam Golan langsung ditanggapi oleh Netanyahu yang menyebut pernyataan tersebut sebagai fitnah berdarah antisemit yang hina terhadap tentara IDF dan negara Israel.

Namun, dalam konferensi pers, Golan kembali menegaskan pendapatnya. Menurutnya, perang yang semula dibenarkan sebagai respons terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 berubah menjadi konflik yang korup. 

"Kaum kiri terlalu takut untuk berbicara. Mereka seharusnya lebih lantang mengutuk apa yang terjadi," ujarnya.

Selama perang berlangsung, sebagian besar kritik internal di Israel terhadap pemerintahan Netanyahu berfokus pada kegagalannya membawa pulang para sandera atau mengelola operasi militer secara efektif ketimbang penderitaan rakyat Palestina.

Tindakan represif

Sementara itu, aktivis yang mengangkat isu kemanusiaan di Gaza menghadapi tindakan represif. Pada Senin (19/5), polisi Israel menangkap sejumlah demonstran antiperang yang melakukan protes di dekat perbatasan Gaza sambil membawa foto anak-anak Palestina yang menjadi korban serangan udara. 

Mereka ditahan semalam sebelum dilepaskan ke tahanan rumah. Di antara mereka terdapat Alon-Lee Green, direktur kelompok kampanye Palestina-Israel, Standing Together.

"Meskipun para demonstran damai diadili, pemukim ekstremis sayap kanan diizinkan masuk ke Gaza secara ilegal, melakukan serangan terhadap warga Palestina di Tepi Barat, dan bahkan menggelar konferensi permukiman di perbatasan Gaza dengan impunitas penuh," kata Standing Together dalam pernyataan resmi mereka. 

Mereka mengecam standar ganda pemerintah dalam penggunaan kekuatan.

Kondisi kritis

Di dalam Gaza, penderitaan warga sipil terus meningkat akibat operasi darat dan udara Israel. 

Serangan terbaru pada Selasa (20/5) menewaskan sedikitnya 85 orang, termasuk serangan terhadap satu rumah dan sekolah di Gaza utara yang digunakan sebagai tempat pengungsian, menewaskan lebih dari 22 orang yang sebagian besar ialah perempuan dan anak-anak, demikian menurut Kementerian Kesehatan Gaza.

Pemerintah Israel juga mengeluarkan perintah evakuasi untuk seluruh wilayah Khan Younis tengah, kota terbesar kedua di Gaza, yang kini dinyatakan sebagai zona pertempuran. 

Penduduk yang sudah kelelahan dan kekurangan pangan terpaksa kembali mengungsi.

Hingga saat ini, jumlah korban tewas akibat agresi militer Israel telah melampaui 53.000 orang, lebih dari setengahnya merupakan warga sipil. 

Menurut laporan UN Women pekan ini, dari total korban, terdapat lebih dari 28.000 perempuan dan anak-anak. (I-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |