Marzuki Darusman Minta Pemberian Gelar Pahlawan Harus Berdasarkan HAM

4 hours ago 2
Marzuki Darusman Minta Pemberian Gelar Pahlawan Harus Berdasarkan HAM Mantan Jaksa Agung Republik Indonesia periode 1999–2001, Marzuki Darusman.(dok.Istimewa)

MANTAN Jaksa Agung Republik Indonesia periode 1999–2001, Marzuki Darusman, menegaskan penolakannya terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Dia menilai langkah itu bukan hanya tidak pantas, tetapi juga mencerminkan pengabaian monumental negara terhadap sejarah kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi sepanjang rezim Orde Baru.

“Dengan serangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi pada masa Orde Baru, Soeharto merupakan perlambang tunggal dari kekerasan itu,” ujar Marzuki dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta, Selasa (4/11).

Menurut Marzuki, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus bersikap tegas terhadap usulan dari Dewan Gelar dan Kementerian Sosial. Ia mengingatkan agar pemerintah tidak gegabah meloloskan Soeharto sebagai penerima gelar Pahlawan Nasional bersama sejumlah calon lain.

“Presiden Prabowo dalam hari-hari yang akan datang harus meluruskan, apakah usul dari Dewan Gelar dan Kementerian Sosial itu akan diloloskan atau tidak,” tegasnya.

Ketua Komnas HAM 1996-1998 ini menyoroti pernyataan Ketua Dewan Gelar yang mengklaim belum pernah mendengar suara penolakan terhadap usulan tersebut. Menurutnya, penolakan yang disuarakan hari ini merupakan bentuk sikap moral publik untuk menjaga ingatan sejarah bangsa.

“Ketua Dewan Gelar mengatakan tidak pernah mendengar suara penolakan. Hari ini, kita perdengarkan suara itu,” tegasnya.

Dia mengkritik keras arah pemerintahan saat ini yang dinilai lebih banyak memperhatikan kepentingan luar negeri ketimbang suara rakyat di dalam negeri.

“Kita punya presiden yang sering ke luar negeri, berbicara dengan pemimpin luar negeri, tetapi tidak banyak berbicara dengan pemimpin bangsanya sendiri. Presiden yang tahu kepentingan luar negeri, tetapi kalau ada protes dalam negeri mengatakan ini campur tangan luar negeri,” sindir Marzuki.

Ia menilai sikap pemerintah terhadap pemberantasan korupsi dan pelanggaran HAM masih jauh dari harapan. “Kita di tengah semangat memberantas korupsi, presiden justru mengatakan pulangkan uang itu diam-diam,” ucapnya.

Menurut Marzuki, selama satu tahun terakhir publik telah mentolerir berbagai anomali kebijakan, namun pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto merupakan batas yang tak bisa lagi diterima.

“Kalau sampai Presiden Soeharto dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional, di situ kita tarik garis,” tegasnya.

Marzuki juga mengingatkan bahwa kekerasan dan pelanggaran HAM selama 30 tahun kekuasaan Soeharto belum pernah diselesaikan hingga kini.

“Gerakan-gerakan seperti Kamisan dan perjuangan mencari keadilan untuk Munir adalah bukti pengabaian yang tidak ada taranya dalam sejarah politik kita,” ujarnya.

Ia menegaskan, dari sisi hukum, Soeharto tidak layak menerima gelar tersebut karena masih terikat dengan TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 yang menegaskan perlunya memproses Soeharto atas dugaan korupsi besar-besaran selama masa jabatannya.

“TAP MPR itu belum pernah dicabut. Kalau ada kabar bahwa nama Soeharto dihapus, itu bukan hasil permusyawaratan, tapi hanya permufakatan beberapa pimpinan MPR. Secara hukum, tidak bisa Presiden Soeharto diberikan gelar kepahlawanan,” tegas Marzuki.

Ia menilai, dorongan pemberian gelar kepada Soeharto tak lepas dari upaya politik untuk menulis ulang sejarah versi pemerintah.

“Rencana ini terkait dengan proses menulis ulang sejarah Indonesia yang juga menyangkut peranan Soeharto, dan tidak lepas dari hubungan historis serta kekerabatan antara Presiden Prabowo dengan Presiden Soeharto,” pungkasnya. (Cah/P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |