
PENDATAAN calon peserta program Sekolah Rakyat Tahun Ajaran 2025/2026 di Kabupaten Natuna masih terus berlangsung. Hingga Senin (14/7), jumlah anak dari keluarga miskin yang terverifikasi baru mencapai 40 orang, jauh dari kuota minimum yang ditetapkan sebanyak 100 siswa.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Natuna, Puryanti, mengatakan bahwa proses verifikasi calon peserta merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Nasional (DTSEN), khususnya pada kategori desil 1 dan 2. Dari sekitar 2.000 anak dalam data awal, sebagian besar ternyata telah bersekolah di lembaga lain.
“Setelah diverifikasi dan divalidasi, hanya sekitar 40 anak yang benar-benar layak mengikuti program Sekolah Rakyat,” katanya, Senin (14/7).
Guna mengejar target kuota, Kementerian Sosial menerbitkan surat edaran yang membuka kesempatan lebih luas. Anak-anak dari kategori desil di atas 2 tetap bisa mengikuti program, selama berasal dari keluarga miskin dan dibuktikan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa atau kelurahan.
“Kami juga sudah minta Dinas Pendidikan untuk mengirimkan data anak putus sekolah agar bisa kami verifikasi,” ujarnya.
Namun, tantangan lain muncul di lapangan. Banyak anak yang sudah putus sekolah ternyata enggan kembali bersekolah, bahkan sebagian sudah melewati usia sekolah dasar.
Untuk mempercepat proses, verifikasi tambahan dilakukan oleh Dinas Sosial bersama SDM Program Keluarga Harapan (PKH), Badan Pusat Statistik (BPS), serta lembaga penyelenggara Sekolah Rakyat. Proses ini juga melibatkan pengusulan data dari luar desil 1 dan 2, selama memenuhi kriteria dan sudah dikoordinasikan dengan BPS.
“Data dari luar desil 1 dan 2 bisa tetap diusulkan, asal disertai SKTM dan bisa dimasukkan ke dalam DTSEN,” tambahnya.
Seleksi akhir akan dilakukan bersama Dinas Pendidikan dan lembaga penyelenggara. Calon siswa yang lolos seluruh tahapan verifikasi akan ditetapkan sebagai peserta resmi program Sekolah Rakyat.
Sementara itu, pemerhati pendidikan lokal, Ahmad Syaiful, menilai bahwa rendahnya jumlah anak yang lolos verifikasi menunjukkan adanya kesenjangan antara data administratif dan realitas sosial di lapangan. Ia menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih humanis dan kolaboratif dalam menjangkau anak-anak dari keluarga rentan.
“Banyak anak putus sekolah tidak hanya karena ekonomi, tapi juga karena sudah bekerja membantu orang tua atau kehilangan semangat belajar. Ini harus dilihat secara lebih dalam, tidak cukup hanya dengan data desil,” katanya.
Dia juga menekankan pentingnya pendekatan berbasis komunitas agar program Sekolah Rakyat benar-benar menyentuh kebutuhan mereka yang paling membutuhkan.
“Pemerintah daerah sebaiknya menggandeng tokoh masyarakat, RT/RW, dan organisasi lokal untuk menyosialisasikan program ini. Anak-anak yang tidak terjangkau sistem pendidikan formal bisa lebih percaya jika pendekatannya personal,” ujarnya.
Menurutnya, perlu juga fleksibilitas dalam sistem belajar, seperti kelas sore atau pembelajaran berbasis proyek, agar anak-anak yang sudah bekerja atau dewasa tetap dapat mengikuti Sekolah Rakyat tanpa merasa tertinggal.(H-2)