
ANGGOTA tim kuasa hukum Nadiem Anwar Makarim, Dodi S Abdulkadir, menegaskan penolakan hakim atas permohonan praperadilan bukan berarti kliennya bersalah dalam dugaan kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2020-2022.
Ia mengklaim, dalam sidang praperadilan, terungkap penetapan Nadiem sebagai tersangka dilakukan tanpa melalui proses audit yang membuktikan adanya kerugian negara.
"Bagaimana mungkin seseorang ditetapkan sebagai tersengka korupsi sementara hasil audit untuk menghitung kerugian negaranya belum ada. Hal ini yang sebenarnya sangat kami sayangkan tidak menjadi pertimbangan utama hakim dalam memutus perkara ini," tegas Dodi dalam keterangan resmi, Senin (13/10).
Ia menuding praperadilan hanya menilai formil dan prosedural penetapan tersangka, bukan bagian dari pokok perkara. Meski demikian, sebagai bagian dari proses hukum dan penghormatan atas hak asasi tersangka, seharusnya hakim juga mempertimbangkan berbagai aspek yang dinilai penting dalam penetapan tersangka korupsi.
"Tadinya kita mengharapkan hakim akan melakukan terobosan hukum sehingga dapat memberikan suatu penemuan hukum. Namun, rupanya hakim tetap berpedoman kepada norma-norma positif sebagaimana ketentuan yang baku tersebut," katanya.
"Oleh karena itu, sekali lagi, bahwa proses peradilan ini baru membuktikan administrasi dari penetapan tersangka," sambungnya.
Berbagai cacat prosedur dalam penetapan tersangka Nadiem dikatakannya sudah disampaikan tim kuasa hukum dalam sidang praperadilan yang telah berlangsung sejak 3 Oktober 2025 hingga putusan hakim, Senin (13/10). Bahkan dua ahli hukum pidana yang dihadirkan oleh jaksa maupun tim kuasa hukum memiliki beberapa argumen yang sama terkait dengan materi kerugian negara.
Menurut Dodi, pihaknya akan terus menuntut bukti sah yang menunjukkan adanya kerugian negara secara nyata dan pasti (actual loss), bukan sekadar dugaan atau potensi (potential loss) dalam kasus yang di persangkakan terhadap Nadiem. Apalagi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) jelas-jelas telah menyatakan bahwa pengadaan laptop chromebook dinyatakan normal dan tidak ditemukan adanya mark-up.
"Artinya, hingga hari ini, tidak ada unsur kerugian negara sebagaimana ditegaskan oleh BPKP, lembaga yang sah menurut undang-undang untuk melakukan audit keuangan negara," klaimnya.
Pakar hukum pidana Suparji Ahmad dari Universitas Al Azhar Indonesia, sebagai saksi ahli yang dihadirkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), dalam sidang praperadilan tegas menyatakan kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi harus bersifat nyata (actual loss), bukan sekadar potensi (potential loss). Pandangan ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa unsur kerugian negara harus benar-benar terjadi dan dapat dihitung secara pasti.
"Kerugian negara harus benar-benar terjadi dan dapat dihitung jumlahnya secara pasti. Unsur nyata dan pasti merupakan syarat penting dalam pembuktian kerugian keuangan negara," ujar Suparji dalam sidang lanjutan praperadilan Nadiem Anwar Makarim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/10).
Sementara itu Ahli Hukum Pidana Dr Khairul Huda dari universitas Muhammadiyah Jakarta menegaskan, alat bukti yang paling relevan untuk menetapkan tersangka dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah adanya kerugian negara.
"Ada kerugian keuangan negara saja belum tentu korupsi. Gedung pengadilan ini terbakar, merugikan negara, rugi, tapi apakah karena korupsi? Makanya penting sekali adanya audit yang menghubungkan antara kerugian tersebut dengan sebab-sebab melawan hukum mengenai hal itu," tegas Chairul saat menjadi saksi ahli, Selasa (7/10). (E-1)