
EMPAT dari 21 tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan hadiah atau janji pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas) dari APBD Provinsi Jatim 2019-2022 telah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2 Oktober 2025. Perkara korupsi pengembangan fakta persidangan terpidana koruptor Sahat Tua Simanjuntak, Wakil Ketua DPRD Jatim, yang digelandang ke gedung merah putih dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 14 Desember 2022 telah menjerat tujuh wakil rakyat, 16 orang swasta, dan 2 staf DPRD.
Menurut KPK, akibat korupsi tersebut hanya 55% hingga 70% dari dana hibah APBD Jatim yang dimanfaatkan masyarakat. Mengingat praktik korupsi dilakukan dengan merekayasa proposal permohonan dan laporan pertanggungjawaban dana hibah termasuk Pokmas yang tidak memenuhi kriteria penerima hibah dan fiktif, maka penghitungan kerugian keuangan Daerah dengan metode total loss (kerugian total) sesuai pasal 1 angka 22 UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara terpenuhi.
Namun, publik khawatir kelambanan penanganan kasus ini yang berbeda dari kasus OTT lain diduga kemungkinan adanya muatan politik. Keraguan KPK ditenggarai ingin melindungi penyelenggara negara dari elemen eksekutif mendorong lembaga anti rasywah ini mengkanalisasi perkara menjadi pidana suap semata.
KPK tidak tepat dalam menangani perkara korupsi ini hanya sebagai peristiwa pidana suap kepada anggota DPRD mengingat dana APBD yang digelontorkan untuk belanja hibah sepanjang 2020-2025 mencapai Rp35,8 triliun. Pasalnya, penerapan pidana suap terhadap kerugian APBD yang dikelola pejabat daerah sebagai perbuatan hukum wakil rakyat semata memiliki kesalahan mendasar.
Penanganan kasus korupsi belanja APBD harus mengutamakan upaya pengembalian kerugian keuangan daerah. Dalam kasus hibah APBD Jatim 2019–2022, korupsi belanja APBD digeser menjadi masalah suap wakil rakyat sehingga pengembalian kerugian keuangan daerah hanya mencakup jumlah suap yang diterima anggota DPRD sebagai uang pengganti.
Belanja Hibah Pembawa Musibah
Alokasi belanja hibah APBD Jatim periode pemerintah Khofifah Indar Parawansa tidak saja besar secara nominal tetapi dari porsi belanja hibah terhadap belanja APBD Provinsi tertinggi se Indonesia. Padahal hibah bukan merupakan belanja wajib dan kebutuhan pelayanan dasar masyarakat serta tidak memenuhi kriteria belanja mengikat yang wajib dialokasikan dalam APBD.
Kendati kasus tersebut menyangkut APBD 2019-2022 namun tidak menutup kemungkinan kasus korupsi hibah berlanjut sampai sekarang karena masih tetap dianggarkan pada APBD. Seharusnya KPK merekomendasikan Gubernur Jatim menghentikan anggaran belanja hibah sampai sistem pengendalian internalnya dapat menjamin kasus serupa tidak terulang.
Untuk mengetahui besarnya potensi korupsi hibah APBD Jatim, dapat dihitung dari alokasi belanja APBD untuk pengeluaran tersebut. Alokasi belanja hibah pada APBD 2020 (Rp9,8 triliun), 2021 (Rp10,27 triliun), 2022 (Rp5,1 triliun), 2023 (Rp3,36 triliun), 2024(Rp4,23 triliun), dan 2025 (Rp3,12 triliun). Porsi hibah terhadap belanja APBD 2020 senilai 28,35% (Rp34,56 triliun), 2021 senilai 31,11% (Rp33,01 triliun), 2022 senilai 15,23% (Rp33,49 triliun), 2023 senilai 10,8% (Rp31,12 triliun), 2024 senilai 12,72% (Rp33,26 triliun), dan 2025 senilai 10,32% (Rp30,22 triliun).
Pada 2020 dan 2021, hibah merupakan pos belanja terbesar yang dialokasikan di APBD Jatim. Porsi hibah kelompok masyarakat (pokmas) bahkan mencapai 14,2% pada APBD 2021 yang merupakan jumlah tidak biasa untuk belanja yang sangat bergantung pada kinerja aparat pemda.
Ironisnya 2020 saat pandemi Covid-19, bantuan sosial dialokasikan hanya Rp111,78 miliar kontradiksi dibandingkan dengan pemberian hibah untuk pokmas yang mencapai Rp2,8 triliun.
Eksekutif memiliki wewenang dan tanggung jawab mengelola belanja hibah dari proses penganggaran, verifikasi kelayakan penerima, penetapan daftar penerima, pengawasan dan pencairan dana. Ketika di lapangan ditemukan fisik fiktif, penerima ganda, barang/jasa tidak sesuai, maka rangkaian tanggung jawab dan wewenang eksekutif perlu diuji atas kerugian daerah yang ditimbulkannya.
Permendagri Nomor 86/2017 memungkinkan anggota DPRD menyampaikan aspirasi konstituen mereka dalam pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD jika dilakukan secara bertanggung jawab. Jika aparat pemda, yang berfungsi sebagai pengelola belanja hibah yang cermat, melihat kesalahan dalam dokumen usulan hibah dan tidak menutup mata atas kesalahan tersebut, kesalahan ini dapat dihindari.
Padahal untuk pengelolaan belanja hibah, beban akuntabilitas dan pertangungjawaban sejatinya ada pada pihak eksekutif. PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang menetapkan struktur dan mekanisme pengelolaan hibah APBD tidak membebani unsur legislatif sebagai pihak yang bertanggungjawab.
Setelah hampir tiga tahun, konstelasi penindakan yang lebih kuat diterapkan pada jejaring legislatif dan pokmas, sementara unsur eksekutif yang bertanggung jawab atas tatakelola anggaran tetap tidak terpengaruh. Untuk unsur eksekutif yang mengelola belanja hibah APBD, sulit untuk menghindari korupsi hibah.
Secara logika fiskal dan keuangan publik, penyimpangan hibah yang menyebabkan suap harus mengakibatkan kerugian daerah, apakah itu dalam bentuk output fiktif, rekayasa dokumen pembayaran, atau salah penggunaan. Menurut UU Nomor 1 Tahun 2004, kerugian keuangan negara adalah kekurangan uang atau barang yang nyata dan pasti akibat tindakan melawan hukum.
Ada beberapa alasan yang membuat kasus korupsi ini terkesan diarahkan ke legislatif? Pertama, arsitektur pembuktian OTT biasanya lebih kasat mata, memungkinkan alat bukti untuk menyadap percakapan, janji, dan serah terima uang langsung dan mudah terhubung ke subjek penerima. Kedua, pasal suap lebih mudah dibuat secara teknis: cukup dibuktikan bahwa janji atau pemberian memengaruhi kewenangan tertentu. Ketiga, bias institusional sering terjadi di luar bidang abu-abu kebijakan eksekutif karena tindakan yang dilakukan sering ditutupi formalitas kelengkapan dokumen sehingga pemberian hibah tampak seperti prosedur administratif yang sah meskipun sebenarnya enyimpang. Keempat pembuktian kerugian keuangan daerah membutuhkan audit investigatif teliti yang meninjau alur uang dan audit seperti itu memerlukan waktu lama untuk muncul dalam kasus pengadilan.
Publik menduga lambannya penanganan kasus ini ditengarai KPK kemungkinan mengkanalisasi perkara ini menjadi pidana suap semata dengan menggunakan pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Pasal ini menyatakan bahwa penyelenggara negara yang menerima hadiah yang diketahui atau patut diduga dimaksudkan untuk mendorongnya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya sebagai penyelenggara negara.
Pada tuntutannya jaksa menggunakan pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Pasal ini menyatakan penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pada pengadilan Tipikor Sahat Tua, muncul pula fakta persidangan pokmas fiktif, duplikasi penerima, dan kesamaan identitas yang bukan sekadar cerita suap melainkan kegagalan tatakelola. Pasal 3 UU Tipikor mengenai penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan daerah harus berdampingan dengan pasal suap di mana kedua pasal tersebut tidak saling meniadakan. Suap menjerat aktor legislatif yang melakukan praktik transaksional, sedang pasal 3 UU Tipikor menjangkau jaringan eksekutif karena kesengajaan atau kelalaian meloloskan uang rakyat keluar dari tujuan program.
Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan dalam penegakan Tipikor, kerugian negara dapat dihitung oleh KPK yang memiliki unit akuntansi forensik. Prinsipnya sederhana pemulihan uang publik (asset recovery) harus menjadi pilar, bukan epilog. Tanpa angka kerugian yang terang dan mekanisme pengembalian dana korupsi yang tegas, kita hanya memulihkan sebagian uang suap, sementara kebocoran APBD tetap dibiarkan.
Akhirnya, penanganan perkara hibah APBD Jatim menjadi cerminan arah pemberantasan korupsi kita dengan pilihan menempuh pendekatan pragmatis untuk menghukum pelaku suap atau menuntaskan pemulihan uang daerah yang hilang. Legislatif tidak boleh dijadikan buruk rupa wajah korupsi, sementara eksekutif bersembunyi di balik formalitas dokumen administrasi. Penegakan hukum yang utuh dan adil menuntut dua rel berjalan sejajar: suap ditindak, kerugian daerah dihitung, dan dipulihkan. Elemen eksekutif harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan hukum ketika bukti menunjuk ke sana. (E-3)