Ketua Majelis Masyayikh Abdul Ghaffar Rozin di Konferensi Pendidikan Pesantren 2025.(Dok. Antara)
KONFERENSI Pendidikan Pesantren Nasional 2025 digelar di Hotel Bidakara, Jakarta, pada 5--7 November. Konferensi tersebut digelar salah satunya untuk menyatukan pandangan dan membangun konsensus nasional mengenai masa depan pesantren.
"Ini forum ilmiah yang mempertemukan kita semua, para akademisi, peneliti, santri, kiai, dan perwakilan birokrasi, untuk berbicara secara akademik sekaligus dari hati ke hati tentang arah pesantren ke depan," ujar Ketua Majelis Masyayikh Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin), di Jakarta, Kamis, (6/11).
Gus Rozin mengatakan konferensi tersebut menjadi langkah strategis untuk memperkuat implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren melalui penguatan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi terhadap sistem pendidikan pesantren serta lulusannya.
Ia menekankan tiga kata kunci utama dari UU Pesantren, yakni rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi, bukan sekadar jargon, melainkan prinsip kerja yang harus diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret. Agar pesantren memperoleh kesetaraan hak dan akses dalam sistem pendidikan nasional.
Menurutnya, rekognisi berarti pengakuan negara terhadap sistem pendidikan pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Afirmasi adalah bentuk keberpihakan dan dukungan kebijakan negara terhadap pesantren, sementara fasilitasi merupakan tanggung jawab negara untuk memastikan pesantren memiliki akses terhadap sumber daya pendidikan, pendanaan, dan pengembangan mutu.
"Ketiga prinsip ini tidak boleh berhenti di tataran wacana. Negara harus hadir dengan kebijakan yang nyata agar pesantren tidak hanya diakui secara hukum, tetapi juga difasilitasi secara adil dalam pelaksanaannya," kata dia.
Gus Rozin juga menjelaskan peran Majelis Masyayikh sebagai lembaga independen penjamin mutu pendidikan pesantren yang berfungsi sebagai penghubung antara negara dan dunia pesantren. "Kami menjadi jembatan antara negara dan pesantren dalam memastikan mutu, tanpa mencabut akar tradisi keilmuan yang telah diwariskan para kiai," ujarnya.
Ia mengatakan, pesantren memiliki kekhasan ideologis dan spiritual yang tidak bisa diseragamkan dengan lembaga pendidikan lainnya. Ia tumbuh dari masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan mengabdi untuk kemaslahatan masyarakat. (Ant/H-3)


















































