Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh (kanan)(Dok.HO/MUI)
KETUA Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengungkapkan saatnya bangsa Indonesia bersatu, saling mendukung dan menguatkan untuk membangun bangsa bersama-sama. Menurutnya, setiap zaman punya perjuangan dan pejuangnya masing-masing.
“Setiap zaman ada tokoh pahlawannya. Kita harus menghargai perjuangan para tokoh pemimpin bangsa, termasuk para mantan presiden yang telah memimpin Indonesia. Mereka adalah pahlawan bagi bangsa Indonesia. Pak Karno, Pak Harto, Pak Habibi, dan Gus Dur, adalah para pemimpin bangsa yang layak menjadi pahlawan,” ujar Niam usai Konperensi Pers tentang persiapan Munas MUI di Kantor MUI Selasa (4/11) sebagaimana dilansir dari laman resmi MUI.
Niam merespons usulan Menteri Sosial Saifullah Yusuf yang menyerahkan 40 nama tokoh yang diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional. Beberapa tokoh yang diusulkan di antaranya Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Marsinah.
“Saya rasa itu langkah bagus ya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Dan usulan pahlawan dari para tokoh berbagai latar belakang itu menunjukkan kenegarawanan Presiden Prabowo untuk merangkul dan membangun harmoni serta kebersamaan,” tambahnya.
Ia menjelaskan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya, termasuk para pemimpin negara yang sudah mendarmabaktikan hidupnya untuk bangsa dan negara.
“Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November adalah untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kemajuan bangsa. Dalam Islam, diperintahkan untuk mengingat jasa dan kebaikan orang yang telah wafat, terlebih itu adalah pemimpin yang secara nyata telah berjasa dan menanam kebaikan bagi bangsa”, tegas Niam.
Menurutnya, Presiden RI ke-2 Soeharto yang telah memimpin Indonesia puluhan tahun terbukti membawa kemajuan bangsa, demikian juga Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Presiden ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie. “Masing-masing tentu punya kekurangan. Tetapi kita harus menghargai jasa-jasa dan kebaikan yang telah ditanam bagi bangsa”, tegasnya.
Sebaliknya, tambahnya, tidak boleh menyimpan dendam dan mengungkit keburukannya. Karena memang tidak ada orang yang sempurna. “Sehebat apapun orang, jika dicari kesalahan dan kelemahannya pasti ada. Namun Islam memerintahkan untuk mengingat kebaikannya dan memendam serta memaafkan kesalahannya”, ujarnya. (M-3)


















































