Ketua Komisi II DPR: Revisi UU Pemilu Akan Selesaikan Tumpang Tindih Aturan dan Norma Multitafsir

3 hours ago 3
 Revisi UU Pemilu Akan Selesaikan Tumpang Tindih Aturan dan Norma Multitafsir Ilustrasi.(MI)

KETUA Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda menilai revisi Undang-Undang (UU) Pemilu perlu dilakukan secara komprehensif untuk mengatasi berbagai persoalan krusial dalam regulasi kepemiluan di Indonesia. Ia menyoroti sedikitnya tiga permasalahan utama yang selama ini menimbulkan kebingungan dan ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan pemilu maupun pilkada.

“Kalau kita lihat konteks regulasi pemilu di Indonesia, baik itu undang-undang maupun peraturan di bawahnya seperti PKPU dan peraturan Bawaslu, setidaknya ada tiga persoalan krusial yang harus diselesaikan,” ujar Rifqi dalam keterangannya pada Minggu (26/10).

Menurut Rifqi, persoalan pertama adalah adanya tumpang tindih norma dan ketentuan yang mengatur hal serupa dalam undang-undang berbeda. Kondisi ini, kata dia, kerap memunculkan ketidakharmonisan antara aturan pemilu legislatif dan pilkada.

“Misalnya, pengaturan antara pemilu legislatif dan pilkada yang sama-sama diatur melalui PKPU, tapi substansinya bisa berbeda. Akibatnya, penyelenggara di lapangan sering menghadapi kekacauan dan kebingungan dalam penerapannya,” ujarnya.

Ia melanjutkan, persoalan kedua adalah banyaknya norma multitafsir dalam aturan kepemiluan yang menimbulkan interpretasi berbeda di tingkat pelaksana.

“Banyak aturan pemilu dan pilkada mengandung norma yang multitafsir, dan ini seringkali menimbulkan kebingungan di lapangan bagi penyelenggara maupun peserta pemilu,” kata Rifqi.

Sementara itu, problem ketiga yang harus menjadi perhatian dalam revisi UU Pemilu, menurutnya, adalah belum terakomodasinya realitas politik praktis di lapangan dalam peraturan perundang-undangan.

“Masih banyak persoalan politik praktis yang belum terakomodasi dengan baik di dalam aturan. Misalnya soal masa kampanye yang dibatasi hanya 65 atau 75 hari dengan berbagai larangan di dalamnya,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, secara sosiologis dan substantif, batasan masa kampanye itu sering tidak sesuai dengan dinamika politik yang terjadi di masyarakat.

“Kenyataannya, para politisi tetap melakukan aktivitas politik di luar masa kampanye resmi, tapi secara hukum sulit dijerat karena tidak ada aturan yang tegas. Jadi, secara substantif, penegakan hukumnya menjadi lemah,” tegasnya. (Dev/P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |