SEJUMLAH pemimpin dunia menandatangani deklarasi perdamaian untuk Gaza. Namun, kesepakatan yang disebut Deklarasi Trump untuk Perdamaian dan Kemakmuran Abadi itu menuai kritik karena dinilai belum menjawab tujuan utama pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Pakar hubungan internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Suzie Sudarman, menilai mekanisme lahirnya deklarasi tersebut tidak mencerminkan proses perdamaian yang wajar dan alami.
“Perdamaian di sini adalah ekspresi dari kekuatan negara-negara yang mampu memaksa terwujudnya perdamaian, bukan hasil bargaining dan negosiasi yang lazim. Ini adalah narasi perdamaian yang sarat dengan
Menurutnya, kondisi di lapangan menunjukkan Hamas berada dalam posisi lemah tanpa daya tawar, sementara Israel ikut terdorong menerima kesepakatan akibat tekanan eksternal.
Peran Indonesia dan Kehadiran Presiden Prabowo di KTT Perdamaian
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perdamaian Gaza turut menjadi sorotan internasional. Suzie menilai Indonesia memiliki posisi strategis karena rekam jejak panjang dalam misi perdamaian dunia.
“Sebagai negara Asia satu-satunya yang berpengalaman dalam pasukan perdamaian di banyak negara, Indonesia mampu memberikan keabsahan pada hal-hal yang mungkin diragukan masyarakat internasional,” jelasnya.
Ia menambahkan, posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dapat menjadi tameng politik bagi negara-negara sekutu Amerika Serikat dan Israel.
“Persekutuan yang nyata antara kebanyakan negara kawasan dengan AS dan Israel bisa tersembunyi di balik hadirnya Indonesia,” ujarnya.
Suzie juga menyebut partisipasi Indonesia dapat membuka peluang pengiriman pasukan perdamaian ke wilayah konflik.
“Mungkin juga Presiden Prabowo menginginkan keterlibatan pasukan perdamaian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita konstitusi,” kata Suzie.
Kewaspadaan terhadap Risiko Hukum Internasional
Di akhir pandangannya, Suzie mengingatkan agar Indonesia berhati-hati dalam keterlibatannya pada proses perdamaian yang berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum internasional.
“Semoga Presiden Indonesia tidak mengabaikan persoalan relokasi masyarakat Palestina yang dapat menyeret Indonesia dalam pelanggaran hukum internasional,” pungkasnya. (Fer/I-1)