Keran Modal Terbuka, Asa UMKM Menyala

1 day ago 6
Keran Modal Terbuka, Asa UMKM Menyala Ilustrasi.(Antara Foto)

MODAL dan akses pembiayaan masih menjadi batu sandungan terbesar bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ingin berkembang. Sebagian besar pelaku usaha di sektor ini berstatus informal, sehingga kerap dianggap tak layak untuk menerima pinjaman oleh lembaga keuangan.

Apalagi syarat-syarat baku seperti jaminan fisik dan rekam jejak keuangan sering kali menjadi tembok yang sulit ditembus. Akibatnya, banyak pelaku UMKM hanya bisa bermimpi untuk melakukan ekspansi usaha. Itulah yang dialami Riski Hidayatulloh, pemilik jenama fesyen Flame Everyday. Pria yang memulai bisnisnya pada 2020 ini sempat terjebak dalam dilema klasik yakni usaha tumbuh pesat, tapi modal seret

Bisnis Riski yang sepenuhnya beroperasi secara daring itu kesulitan mendapatkan pinjaman lantaran tidak memiliki jaminan dalam bentuk fisik. Alhasil, mau tak mau ia harus menggadai beberapa barang miliknya ke teman dan keluarganya untuk mendapatkan modal. 

"Gadai aset ke teman, ke orang buat modal. Karena emang waktu itu booming kan belanja online itu. Mau pinjam ke bank itu susah persyaratannya dan bunganya juga terlalu tinggi buat saya," terang Riski. 

"Kalau pun dapat pinjaman dari yang selain bank, itu nominalnya kecil. Sementara modal untuk produksi lagi itu besar. Jadi gak menutupi kebutuhan modal," lanjutnya. 

Riski mengaku kadang masih harus putar otak untuk mendapatkan modal. Terlebih di masa musim libur lebaran yang notabene banyak masyarakat membeli produknya. Peningkatan jumlah pesanan di musim itu disebut mencapai 300 kali lipat. 

Karenanya, modal yang besar dibutuhkan untuk terus memutar roda produksi guna memenuhi permintaan. Bisnis secara daring penuh juga diakui Riski berbeda dengan bisnis konvensional. Pendapatannya tak langsung masuk ke kantong ketika barang terjual, melainkan harus menunggu sistem berproses dari lokapasar. 

"Kalau online, e-commerce ini uangnya gak langsung masuk, nunggu dulu 3-4 hari. Sementara permintaan masuk setiap hari. Di situ kadang susah untuk mendapatkan modalnya. Karena beda dengan FnB yang pada saat transaksi, saat itu juga uang diterima," jelas Riski. 

Berikan Harapan

Cerita seperti yang dialami Riski boleh jadi tak akan terulang di masa mendatang. Itu karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum lama ini menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan Kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang diharapkan memberi jawaban atas sulitnya permodalan bagi UMKM. POJK tersebut merupakan tindak lanjut amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Layaknya pelumas pada mesin kendaraan, aturan itu ditujukan untuk mendorong akses keuangan yang lebih mudah dan inklusif bagi pelaku UMKM agar berdaya saing dan berkontribusi lebih terhadap perekonomian. Beleid itu juga mendukung digitalisasi pembiayaan dan inovasi produk keuangan sesuai karakteristik UMKM.

POJK 19/2025 mengatur ihwal kemudahan akses pembiayaan, yakni bank dan lembaga keuangan non-bank (LNKB) diminta menyederhanakan persyaratan dan penilaian kelayakan. Misal, memperhitungkan jaminan kekayaan intelektual, digitalisasi proses, dan penggunaan Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA). 

Dari aturan itu pula OJK mendorong agar institusi keuangan memiliki rencana pembiayaan UMKM dan melaporkan realisasinya. Selain itu, perihal hapus buku maupun hapus tagih, proteksi konsumen juga ditekankan oleh otoritas.

Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengungkapkan, POJK tersebut mendorong perbankan dan LKNB untuk memberikan kemudahan akses pemberian kredit atau pembiayaan UMKM yang mudah, tepat, cepat, murah, dan inklusif dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.

"Dengan diberlakukannya POJK ini, bank dan LKNB diharapkan dapat menghadirkan pendekatan yang lebih inovatif untuk menyediakan produk keuangan sesuai kebutuhan setiap segmen UMKM. Mulai dari usaha mikro dan ultra mikro yang membutuhkan akses cepat dan mudah, hingga usaha kecil dan menengah yang memerlukan layanan lebih kompleks dan beragam," kata dia.

Potensi Cukup Besar

Permodalan dinilai menjadi aspek penting pada geliat UMKM. Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, pemberian modal bagi UMKM dari bank maupun LKNB sejauh ini relatif masih minim.

Merujuk data OJK, hingga Juli 2025, kredit tumbuh 7,03% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp8.043,2 triliun. Berdasarkan jenis penggunaan, kredit investasi tumbuh tertinggi sebesar 12,42% (yoy), diikuti oleh kredit konsumsi 8,11% (yoy), sedangkan kredit modal kerja tumbuh 3,08% (yoy).

Berdasarkan kategori debitur, kredit korporasi tumbuh sebesar 9,59%, sementara kredit UMKM tumbuh sebesar 1,82%. Per Juli 2025, total pembiayaan UMKM tercatat Rp1.397,4 triliun atau 15,58% dari keseluruhan kredit.

Adapun OJK menargetkan pada 2029, rasio kredit UMKM bisa menembus 25% dari total kredit industri perbankan. Karenanya, Tauhid menilai masih terdapat potensi dana peluang besar pada penyaluran kredit bagi UMKM.

"Dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhannya masih kurang, karena sebagian besar UMKM kita itu unbanked, tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit secara bank, berdasarkan kriteria bank," jelasnya.

Karenanya, melalui POJK 19/2025 diharapkan UMKM mampu bergeliat dan berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian. Langkah OJK memberikan kemudahan bagi UMKM itu juga dinilai patut diacungi jempol.

Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya, sekaligus ekonom senior Segara Institute Abdul Mongid menuturkan, selama ini OJK tampak bekerja dalam senyap. Sebagai regulator dan pengawas, peran OJK tak jarang dikerdilkan.

"Intervensi langsung yang bisa dilakukan OJK adalah mendorong lembaga keuangan untuk proaktif memberikan kredit. POJK 19 ini cukup baik karena memberikan kemudahan akses permodalan bagi UMKM," jelasnya.

Kesempatan bagi UMKM

Abdul juga menyoroti poin mengenai hapus buku maupun hapus tagih dalam POJK 19/2025 itu. Menurutnya, itu dapat membuka kesempatan baru bagi pelaku UMKM untuk kembali bisa berbisnis dan menggerakkan perekonomian. Hal yang dinanti, imbuhnya, ialah bagaimana itu dapat benar-benar diimplementasikan.

"Apakah itu bank-bank BUMN itu bisa melakukan respons, itu kan problem-nya, bukan di bank swasta. Bagaimana sinkronisasinya dengan aparat hukum, ini masih menjadi PR," tutur Abdul.

OJK turut menanti dukungan dari pemerintah mengenai hapus buku maupun hapus tagih. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan telah membicarakan hal itu kepada pengambil keputusan. Dia berharap hal itu dapat segera ditindaklanjuti oleh pemerintah dan ditinjau agar dapat diperpanjang dan dilakukan penyesuaian.

Menurutnya, langkah tersebut akan signifikan bagi perbankan dalam menata kembali portofolio kredit bermasalah, terutama pada segmen UMKM. "Sehingga langkah-langkah yang bisa ditempuh oleh bank lebih efektif dalam menerapkan proses untuk hapus buku-hapus tagih sesuai dengan yang justru diharapkan oleh pemerintah itu sendiri bisa segera terlaksana," kata Mahendra.

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Harris Turino menuturkan, implementasi dari POJK 19/2025 menjadi penentu niat baik dan positif yang dikeluarkan OJK. Menurutnya, beleid itu dapat dikatakan cukup progresif lantaran ingin memangkas hambatan dan membuka akses pembiayaan bagi UMKM.

"Tantangan utamanya ada di tingkat implementasi. Bank dan LKNB selama ini cenderung risk-averse, sehingga mereka enggan menyalurkan kredit kepada segmen yang dianggap berisiko tinggi tanpa agunan kuat," tutur dia. 

Tanpa dukungan insentif fiskal atau jaminan risiko yang jelas, kata Harris, niat baik OJK bisa mandek di level teknis perbankan. Ia juga berharap OJK dapat memberikan penjelasan mengenai insentif bagi lembaga keuangan yang dimaksud dalam POJK 19/2025.

"Apakah berupa pengurangan bobot risiko kredit (ATMR), potongan kewajiban GWM, atau dukungan likuiditas dari LPS/BI? Tanpa insentif yang konkret, bank tetap akan berhitung konservatif, karena margin kredit UMKM biasanya rendah, sementara biaya monitoring tinggi," kata Harris. 

Selain itu, dia juga menekankan pentingnya sinergi dan kolaborasi dengan kementerian/lembaga lain. Apa yang telah diinisiasi OJK akan sukar terwujud tanpa harmoni dari tingkat pengambil keputusan. (H-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |