Kematian Solusi Dua Negara di Palestina

2 hours ago 1
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

"IS a Palestinian state ever gonna happen? I doubt it."

Seorang kawan mengatakan itu di sebuah sore pada musim semi dengan wajah yang sendu. Di sebuah kafe di sudut Kota Edinburgh, ketika matahari sedang menghangat, sebuah cuaca yang langka di kota yang dingin. Ia adalah orang Arab Palestina berkebangsaan Israel. Saat ini, ada sekitar 2 juta keturunan Arab Palestina yang menjadi warga negara Israel. Mereka itu penduduk asli yang tidak terusir ketika Peristiwa Nakba pada 1948.

Sebelumnya, kami tengah membincangkan bahwa dalam sebuah survei pada 2021, sebanyak 57% akademisi di Timur Tengah telah menyatakan solusi dua negara tidak mungkin dicapai. Sebanyak 40% sisanya masih optimistis terhadap solusi dua negara, tapi tidak mungkin dicapai dalam 10 tahun ke depan.

Lalu, jika bukan solusi dua negara, apa? Sebanyak 80% responden mengatakan masa depan Palestina ialah solusi satu negara dengan sistem apartheid. 'The Israeli regime enacts in all the territory it controls (Israeli sovereign territory, East Jerusalem, the West Bank, and the Gaza Strip) an apartheid regime', tulis B'Tselem, sebuah lembaga kemanusiaan bereputasi yang berbasis di Jerusalem.

Pertanyaannya ialah bagaimana solusi dua negara yang digunakan sebagai sikap resmi hampir seluruh negara serta lembaga internasional justru mati? Dalam tulisan ini, saya setidaknya akan menyampaikan empat alasan. Tidak untuk membenarkan, tapi untuk merefleksikan sejauh mana perjuangan kemerdekaan Palestina itu mungkin--atau justru, muskil.

SATU NEGARA DI BEKAS MANDAT PALESTINA

Pertama, realitas satu negara. Realitas itu bukan realitas sementara sambil menunggu berdirinya negara Palestina yang merdeka. Faktanya, Israel telah menguasai seluruh bekas mandat Palestina sejak Perang 1967 hingga sekarang. Lebih dari setengah abad, tanpa perubahan yang berarti.

Realitas satu negara ialah pengakuan terhadap kepemimpinan tunggal Israel di seluruh bekas wilayah mandat Palestina. Bagaimanapun, diakui atau tidak, yang memiliki kekuatan politik di Gaza dan Tepi Barat ialah Israel, bukan Palestina. Di Gaza, misalnya, Israel memutuskan untuk memblokade kota tersebut sejak 2005 dengan menutup seluruh perbatasan. Israel-lah, bukan Mesir atau negara-negara Arab, yang bisa memutuskan kapan perbatasan dibuka dan ditutup. Israel-lah yang berhak memutuskan bantuan mana yang masuk, mana yang tidak. Bahkan, lebih jauh, Israel-lah yang paling menentukan siapa yang hidup--dan mati--di Gaza.

Ada beberapa laporan, misalnya yang ditulis oleh The New York Times, yang menyebut bahwa Netanyahu sengaja membiarkan Hamas hidup di Gaza agar perpecahan Gaza-Tepi Barat bersifat langgeng. Rezim Yahudi itu tidak hanya membiarkan, bahkan mendorong aliran dana jutaan dolar dari Qatar masuk ke Hamas untuk memperkuat organisasi tersebut.

Netanyahu sejatinya tidak pernah benar-benar menginginkan Hamas mati. Jika Hamas mati, Otoritas Palestina (PA) akan masuk ke Gaza lalu membuka jalan bagi persatuan Gaza dan Tepi Barat, yang berarti lahirnya negara Palestina yang tunggal. Maka itu, dengan membuat Hamas tetap hidup, perpecahan kedua enklaf itu akan tetap abadi. Jadi, bahkan hidup matinya Hamas pun bisa ditentukan--atau paling tidak dikendalikan--oleh Israel.

Hal yang tidak jauh berbeda terjadi di Tepi Barat. Sejak 1993, Tepi Barat diperintah oleh PA yang diketuai oleh Mahmud Abbas. Walaupun kini hanya menguasai sekitar 40% wilayah Tepi Barat, PA inilah yang diakui oleh dunia internasional sebagai pemerintah sah yang menjadi cikal bakal !egara Palestina serta menjadi perwakilan Palestina sebagai pengamat nonanggota di PBB. Namun, secara de facto, PA tak lain dan tak bukan ialah penjaga kepentingan Israel di Tepi Barat.

PA, karena hanya menguasai enklaf-enklaf kecil, tidak dapat berdiri secara independen. Ia membutuhkan suntikan dana terus-menerus untuk keperluan operasional. Masalahnya, yang menjadi donor bagi PA ialah Israel dan sekutu-sekutu internasionalnya. Hal itu membuat PA harus berkoordinasi dengan penyandang dana, bahkan sejak badan tersebut berdiri pasca-Perjanjian Oslo 1993.

Dalam Perjanjian Oslo, disebutkan bahwa PA harus melakukan koordinasi dengan Israel dalam hal keamanan, serta harus membantu Israel meredam apa yang mereka sebut 'kelompok terror', yang sebenarnya merupakan gerakan perlawanan organik di Palestina. Dengan demikian, alih-alih menjadi gerakan pembebasan nasional, PA justru berfungsi untuk meredam kekuatan organik Palestina di akar rumput demi kepentingan keamanan Israel.

Dalam hal ini, yang sejatinya berkuasa di Tepi Barat bukanlah PA, melainkan Israel. Hal itu juga tampak dalam perluasan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Sejak Israel menduduki Tepi Barat dan Gaza pada 1963, negara Zionis terus-menerus membangun pemukiman ilegal di Tepi Barat. Laporan terbaru dari Uni Eropa menyebut ada lebih dari 700 ribu penduduk ilegal Yahudi, sebuah angka yang membuat pendirian Negara Palestina di Tepi Barat tampak begitu muskil.

POLITIK DOMESTIK ISRAEL

Kedua, politik domestik Israel. Selain realitas satu negara yang harus diakui, belakangan elite-elite Israel sendiri juga semakin beringas menyebut tidak akan ada negara Palestina. Dalam sejarah, Israel pernah dipimpin oleh koalisi partai-partai kiri. Koalisi ini relatif lebih pro terhadap solusi dua negara, misalnya dengan penandatanganan Perjanjian Oslo 1993 di New York. Namun, sejak 2009, negara Zionis tersebut menjadi semakin ke kanan, baik secara politik maupun budaya.

Netanyahu sendiri, berkali-kali, dengan begitu tegas menolak kemerdekaan Palestina. Dalam merespons pengakuan Inggris, Kanada, dan Australia atas negara Palestina, ia dengan penuh percaya diri mengatakan, “There will be no Palestinian state.” Senada dengan hal itu, Menteri Keamanan Israel Itamar Ben Gvir akan mengajukan rencana aneksasi Tepi Barat.

Secara politik, Israel sangat mungkin melakukan aneksasi wilayah tersebut paling tidak dengan tiga alasan. Pertama, ada lebih dari 700 ribu penduduk Israel yang tinggal di wilayah Tepi Barat. Kedua, Israel, melalui Perjanjian Oslo, sudah resmi menguasai 60% wilayah Tepi Barat Area C. Ketiga, satu-satunya dunia internasional yang secara aktif terlibat dalam konflik tersebut ialah Amerika, yang sangat setia kepada Israel. Sementara itu, negara-negara lain yang seolah berpihak pada Palestina bersikap sangat pasif. Kalaupun aktif, mereka hanya menjadi negara pariah, mustadh'afin.

Realitas politik Israel ini tidak bisa dinafikan. Ideologi kanan di negara Zionis membuat tidak ada pemimpin Israel yang berani mengorbankan karier politiknya untuk mewujudkan solusi dua negara. Pelopor Perjanjian Oslo, Yitzhak Rabin, PM Israel saat itu, mati ditembak oleh ekstremis kanan Israel dua tahun setelah ia menandatangani perjanjian. Oslo ialah peta jalan menuju solusi dua negara yang sangat dibenci oleh publik Israel. Setiap PM Israel akan selalu mengingat kasus Rabin.

Ketiga, enklaf Palestina. Kemerdekaan Palestina di Tepi Barat juga mengharuskan pembongkaran perumahan ilegal yang dihuni oleh 700 ribu Yahudi, sebuah hal yang tampak muskil. Padahal, pemukim ilegal Tepi Barat ialah ekstremis Yahudi konservatif. Kelompok itu sengaja dipindah ke Tepi Barat karena secara ideologis, mereka meyakini Tepi Barat, yang disebut sebagai Judea and Samaria, merupakan bagian dari tanah suci Yahudi yang harus dibebaskan. Memindahkan mereka kembali ke Israel hanya akan menghancurkan reputasi mereka sendiri.

Masyarakat Tepi Barat tidak memiliki kemampuan mobilitas karena setiap perbatasan enklaf ada pos keamanan yang tidak mudah ditembus. Hal itu membuat kualitas sumberdaya manusia di Tepi Barat terus rendah sehingga tidak mampu menghasilkan kualitas kepemimpinan dan pendidikan yang baik.

Selain itu, Palestina tidak memiliki kepemimpinan tunggal yang solid. Hamas yang populer, pemenang Pemilu 2006, dinyatakan sebagai organisasi teroris sehingga tidak memiliki legitimasi untuk berunding. Sementara itu, PA di Ramallah, Tepi Barat, dianggap sebagai korup dan selalu diharuskan untuk melakukan reformasi ketika akan diberikan kekuasaan di Gaza. Reformasi seperti apa maksudnya juga tidak jelas karena syarat itu dibuat hanya untuk menunda pengalihan kekuasaan agar memperpanjang status quo.

Keempat, ketidakseimbangan kekuatan global. Penanaman benih Yahudi di jantung dunia Arab dilakukan oleh Inggris sekitar 1880-1950. Saat itu Inggris ialah imperium terbesar di dunia. Kini, yang bertugas untuk merawat negara Israel dan melindunginya dari kelompok perlawanan Arab ialah Amerika. Kekuatan global ini tidak berimbang, terutama ketika hampir seluruh negara Arab bergantung kepada Amerika. Bukan hanya negara-negara miskin Arab yang bergantung pada Amerika, melainkan juga negara-negara Teluk kaya yang membutuhkan jaminan keamanan.

Sementara itu, dunia Arab-Islam terus-menerus terpecah, tidak bisa menciptakan integrasi kawasan seperti yang terjadi di Uni Eropa. Disintegrasi dunia Arab-Islam itu membuat tidak adanya dukungan global yang solid untuk kemerdekaan Palestina. Membuat kekuatan Israel dan Palestina menjadi semakin timpang.

MELIHAT KE DEPAN

Kendati solusi dua negara ini telah mati, ia terus menjadi momok. Di pihak pendukung Palestina, hal itu digunakan untuk terus menghidupkan nyala api harapan. Bahwa esok lusa, anak cucu kita akan menyaksikan sebuah negara bernama Palestina yang berdaulat, di dua enklaf yang terpisah. Di pihak Israel, narasi ini terus dihidupkan untuk mempertahankan status quo, menunda perundingan, dan memperpanjang masa perang.

Itu karena perang berarti mengurangi penduduk Palestina secara drastis. Ketika total penduduk Palestina jauh lebih sedikit dari Israel, mereka akan bersiap untuk menciptakan Israel Raya, meliputi seluruh bekas mandat Palestina dan mungkin melampaui itu hingga Dataran Tinggi Golan dan Semenanjung Sinai.

Persoalannya bukan kita membiarkan realitas politik Israel menentukan masa depan Palestina. Sama sekali tidak. Masyarakat Indonesia memiliki idealisme tentang masa depan Palestina. Itu harus diperjuangkan bersama melalui berbagai kanal.

Masalah utamanya ialah, di dunia internasional, tidak ada yang bisa memaksa Israel untuk mengubah haluan dan sikap beringasnya. PBB, Uni Eropa, Liga Arab, dewan kerja sama Teluk, OKI, dan banyak organisasi internasional lain tidak pernah mau secara serius memaksa Israel menarik diri dari Tepi Barat dan menyiapkan peta jalan bagi kemerdekaan Palestina. Lagi-lagi, satu-satunya negara yang secara totalitas ikut campur dalam konflik ini adalah Amerika dan kita tahu di mana hati Amerika berlabuh.

Totalitas Amerika menjadi broker dalam konflik terbaru di Gaza menunjukkan kepedulian yang amat dalam atas masa depan anak emasnya, Israel. Di 20 poin perdamaian Trump, nasib masa depan kemerdekaan Palestina jelas sangat suram. Pun dengan PA, apalagi Hamas. Alih-alih bicara tentang masa depan kemerdekaan Palestina, Trump justru berambisi untuk menguasai Gaza dengan apa yang ia sebut sebagai Board of Peace.

Alih-alih terus hidup dalam ilusi solusi dua negara, para akademisi mengajukan tesis solusi satu negara, yaitu satu negara demokratis meliputi seluruh bekas mandat Palestina dengan komposisi Arab dan Yahudi yang hidup secara berdampingan. Aneksasi Tepi Barat akan menjadi langkah pertama bagi hal tersebut. Integrasi Gaza menjadi langkah selanjutnya. Persoalannya ialah apakah negara tersebut akan menjadi negara demokratis yang adil atau justru menjadi negara apartheid seperti Israel sekarang.

Kendati demikian, saya mencoba tetap berusaha optimistis dengan solusi dua negara, tapi tetap melihatnya secara realistis. Jika dunia internasional benar-benar ingin mencapai solusi dua negara, maka negara-negara maju harus memaksa Israel kembali ke garis 1967, meninggalkan Gaza dan Tepi Barat menjadi daerah yang berdaulat.

Hal itu harus dilakukan dengan dua cara. Pertama, stick and carrot, paksaan dan kompensasi. Israel harus diultimatum. Jika tuntutan tidak dipenuhi, Netanyahu harus diseret ke Mahkamah Internasional dan semua kerja sama dagang harus dihentikan. Kerja sama seluruh negara di dunia dengan Israel harus dihentikan. Israel harus diboikot sebagaimana dunia memboikot Korea Utara dan Iran. Aset-asetnya di negara lain harus dibekukan. Ia harus dikucilkan sepenuhnya dari dunia internasional.

Hukuman lainnya ialah dengan mengeluarkan Israel dari PBB. Jika keputusan untuk mengeluarkan Israel dari PBB selalu diveto oleh Amerika, negara-negara itu yang harus menolak untuk hadir di forum-forum PBB karena kehadiran Israel. Sebaliknya, jika Israel mau memenuhi semua tuntutan dunia internasional, negara Yahudi tersebut akan diberikan kompensasi berupa pengakuan dan kerja sama dagang.

Kedua, tuntutan itu harus serempak dan seragam diikuti oleh semua negara, paling tidak oleh 151 negara yang sudah mengakui kemerdekaan Palestina. Jika tidak serempak, sanksi internasional tidak akan berarti apa-apa karena Israel akan tetap bisa bernapas dengan bergantung pada negara-negara yang tidak memberi sanksi. Tanpa koalisi yang solid, sanksi tersebut tidak akan kuat sebagaimana ketika sebagian negara memberikan sanksi ke Rusia, masih banyak negara yang mau berdagang dengan Moskow. Apakah semua itu mungkin--atau justru muskil? Anda bisa menilai sendiri.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |