Kardinal Peter Turkson Berpeluang Jadi Paus asal Afrika Pertama

6 hours ago 1
Kardinal Peter Turkson Berpeluang Jadi Paus asal Afrika Pertama Kardinal Peter Turkson(AFP/Andreas SOLARO)

JIKA terpilih oleh rekan-rekannya, Kardinal Peter Turkson akan menjadi paus Afrika pertama dalam 1.500 tahun. Meski begitu, ia pernah mengaku tidak menginginkan jabatan itu. 

“Saya rasa tidak ada yang benar-benar mendambakan menjadi paus,” ujarnya kepada BBC pada 2013. 

Ketika ditanya apakah Afrika layak menyediakan paus berikutnya karena pertumbuhan Gereja yang pesat di benua itu, Turkson menjawab bahwa pilihan paus seharusnya tidak didasarkan pada statistik. 

“Pertimbangan semacam itu justru bisa mengaburkan penilaian,” katanya.

Turkson adalah orang Ghana pertama yang diangkat menjadi kardinal, yaitu pada 2003 oleh Paus Yohanes Paulus II. 

Namanya kembali mencuat sebagai calon kuat sepuluh tahun kemudian, saat konklaf memilih pengganti Benediktus XVI. Saat itu, bahkan bandar taruhan menempatkannya sebagai kandidat favorit sebelum pemungutan suara dimulai.

Sosoknya dikenal energik. Ia pernah bermain gitar dalam band funk saat muda. 

Seperti banyak kardinal asal Afrika, Turkson cenderung konservatif. Namun, ia menolak kriminalisasi hubungan sesama jenis di negara-negara Afrika, termasuk tanah kelahirannya, Ghana. 

Dalam wawancara dengan BBC pada 2023, di tengah pembahasan RUU anti-LGBTQ di parlemen Ghana, ia menegaskan homoseksualitas tidak seharusnya dianggap sebagai tindak pidana.

Pada 2012, Turkson sempat menuai kritik karena pernyataannya yang dianggap menakut-nakuti terkait penyebaran Islam di Eropa dalam sebuah konferensi uskup di Vatikan. Ia kemudian meminta maaf. Namun, ia juga menunjukkan pemahaman mendalam tentang pentingnya hidup berdampingan dengan masyarakat majemuk. 

Ia lahir dari keluarga Katolik dengan sepuluh anak. Ayahnya seorang Katolik, sementara ibunya mualaf dari denominasi Metodis. Ia juga memiliki paman Muslim dari pihak ayah.

Turkson masuk seminari kecil di Ghana di usia 14 tahun, lalu melanjutkan pendidikan ke seminari regional hingga 1971. 

Dari 1971 hingga 1974, ia belajar di seminari Fransiskan di New York, Amerika Serikat, dan ditahbiskan menjadi imam di Ghana pada 1975. 

Ia sempat mengajar di seminari kecil, kemudian dikirim ke Roma untuk meraih lisensiat di Institut Alkitab Kepausan (Biblicum) pada 1980. Setelah itu, selama enam tahun ia mengajar di seminari sambil membantu di paroki.

Pada 1987, ia dikirim kembali ke Roma untuk menempuh studi doktoral. Namun, Paus Yohanes Paulus II memintanya menjadi uskup pada 1992 sehingga studi doktornya tidak dilanjutkan. 

Ia ditahbiskan sebagai uskup pada 1993 dan diangkat menjadi Uskup Agung Cape Coast, Ghana. Ia menjabat sebagai Ketua Konferensi Waligereja Ghana dari 1997 hingga 2005. Pada 2003, ia diangkat menjadi kardinal pada usia yang relatif muda, 55 tahun.

Dari 2006 hingga 2010, ia memimpin Dewan Perdamaian Nasional Ghana yang dibentuk dengan dukungan UNDP. Dalam kapasitas itu, ia membantu proses pemilu damai di Ghana pada 2008, meski negara sedang dilanda ketegangan politik. Sosok yang dikaguminya adalah Uskup Agung Oscar Romero dari El Salvador.

Pada 2009, Paus Benediktus XVI menunjuknya sebagai Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, merujuk pada kepeduliannya terhadap keadilan sosial dan keterlibatannya dalam isu global bersama PBB. 

Paus Fransiskus mengukuhkannya di posisi itu pada 2013. Kemudian pada 2017, ia ditunjuk menjadi prefek “super dikasteri” baru: Dikasteri untuk Pengembangan Manusia Seutuhnya, yang merupakan hasil penggabungan beberapa dewan kuria.

Pada 2020, Turkson ditugaskan memimpin gugus tugas Vatikan yang menangani dampak sosial ekonomi akibat pandemi covid-19. Namun, pada April 2022, setelah masa jabatannya sebagai prefek berakhir, ia mengundurkan diri. 

Paus Fransiskus menerima pengunduran dirinya dan menunjuknya sebagai kanselir dua akademi kepausan: Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Sosial. Pergantian jabatan ini dilakukan setelah adanya inspeksi internal yang dipimpin Kardinal Blase Cupich dari Chicago, yang berujung pada restrukturisasi dan perubahan personel.

Sebagai kardinal modern yang disukai kalangan liberal Barat yang menginginkan paus Afrika yang progresif, Turkson dikenal menerima pengaruh Konsili Vatikan II yang membawa pembaruan besar bagi Gereja dan dunia. 

Meski awalnya datang ke Vatikan dengan rasa cemas dan terkejut, ia akhirnya memimpin salah satu reformasi kuria terbesar di bawah Paus Fransiskus: penggabungan dewan-dewan kepausan menjadi satu dikasteri besar yang dipimpinnya.

Dengan pengalaman pastoral dan kurial yang luas, Turkson aktif menyuarakan isu-isu besar zaman ini seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan korupsi. Fokus utamanya adalah isu sosial ekonomi, namun ia tetap menjaga keseimbangan antara dimensi duniawi dan spiritual.

Sebagai uskup, ia sangat aktif di Ghana dan Afrika, sementara sebagai kardinal, ia punya panggung global untuk karya kerasulannya. 

Ia terbuka untuk berdialog dengan non-Katolik dan umumnya tak segan menegaskan posisi tradisional Gereja tentang imamat, pernikahan heteroseksual, dan homoseksualitas meski pandangannya tentang isu terakhir melunak selama masa kepausan Fransiskus.

Ia menentang aborsi dan eutanasia, namun memberi kelonggaran atas penggunaan kontrasepsi dalam kondisi tertentu. Meski kerap berinteraksi dengan pejabat PBB, ia cenderung tidak menentang secara terbuka kebijakan "kesehatan reproduksi" yang kerap identik dengan aborsi dan kontrasepsi.

Karena latar belakang keluarganya yang multireligius, ia mengecam Islamofobia, namun juga tidak menutup mata terhadap ancaman kebebasan manusia yang ditimbulkan oleh ekstremisme Islam baik di Afrika maupun Barat, khususnya terhadap migran. 

Ia mendukung penuh ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus tentang ekologi, meskipun tetap menekankan bahwa “ekologi manusia” terutama perlindungan atas hidup manusia harus menjadi prioritas utama. Komitmen ini kini ia lanjutkan dalam perannya sebagai kanselir dua akademi kepausan.

Turkson juga aktif dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, mewakili pandangan Vatikan soal isu ekonomi global. 

Di sana, ia menyuarakan visi pembangunan ekonomi yang selaras dengan keadilan sosial dan kebaikan bersama. Namun, ia juga sempat dikritik karena keterlibatannya dalam Dewan untuk Kapitalisme Inklusif, yang menuai kontroversi baik dari kelompok kiri maupun kanan politik.

Dengan pengalaman pastoral dan internasional yang luas, serta pendekatan yang selaras dengan agenda lingkungan, inklusi sosial, dan keadilan global, Kardinal Turkson dianggap sebagai figur yang bisa melanjutkan arah reformasi Paus Fransiskus. Ia juga merepresentasikan benua Afrika, kawasan dengan pertumbuhan iman Katolik tercepat di dunia. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |