Hakim konstitusi Arsul Sani (kiri), Guntur Hamzah (tengah) dan Enny Nurbaningsih(MI/Usman Iskandar)
KOMISI Kejaksaan (Komjak) menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya Pasal 8 ayat (5) yang memutuskan bahwa jaksa kini dapat dipanggil, diperiksa, hingga ditahan tanpa izin Jaksa Agung dalam kondisi tertentu seperti tertangkap tangan atau memiliki bukti permulaan yang cukup melakukan tindak pidana berat.
Ketua Komjak, Pujiyono Suwadi, mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Ia mengatakan Kejaksaan Agung RI tinggal melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya.
"Putusan MK sudah jadi norma, jadi tinggal dijalankan," kata Pujiyono, melalui keterangannya, Jumat (17/10).
Pujiyono mengungkapkan jaksa yang ditangkap tanpa izin jaksa agung sebenarnya sudah berjalan. Ia mengacu pada kasus operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Puji Triasmoro yang saat itu menjabat Kajari Bondowoso dan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Bondowoso, Alexander Kristian Diliyanto pada Rabu (15/11/2023). Keduanya diduga menerima duit ratusan juta rupiah dari pihak beperkara agar kasusnya disetop.
Maka dari itu, Pujiyono mengatakan putusan MK menjadi norma yang tinggal dijalankan oleh Kejaksaan Agung RI. Ia mengatakan pada Pasal 8 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan memang belum mengatur secara rinci soal pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan hingga penahanan jaksa tanpa izin jaksa agung. Namun, ia menilai UU yang ada sudah menerapkan penangkapan tanpa perlu izin jaksa agung.
"Sebenarnya sudah cukup diartikan dalam implementasi bahwa upaya paksa sebagaimana dimaksud dikecualikan terhadap OTT, karena memang faktanya yang sudah terjadi terhadap OTT tidak perlu izin jaksa agung. Tetapi, demi lex certa sebuah norma, perlu juga ditambahkan putusan MK tersebut," katanya.
Putusan MK
Sebelumnya, MK memutuskan bahwa jaksa kini dapat dipanggil, diperiksa, hingga ditahan tanpa izin Jaksa Agung dalam kondisi tertentu seperti tertangkap tangan atau memiliki bukti permulaan yang cukup melakukan tindak pidana berat.
Putusan ini menegaskan kembali prinsip equality before the law atau persamaan di hadapan hukum. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Kamis (16/10), dengan dipimpin Ketua MK Suhartoyo. Permohonan uji materi ini diajukan oleh Agus Setiawan (aktivis/mahasiswa), Sulaiman (advokat), dan Perhimpunan Pemuda Madani terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.
Dalam amar Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan tersebut. MK menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai adanya pengecualian dalam kasus tertangkap tangan atau adanya bukti kuat dugaan tindak pidana berat.
“Norma tersebut tidak sejalan dengan semangat equality before the law dan berpotensi melemahkan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat norma ini harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” ujar Hakim Konstitusi Arsul Sani saat membacakan pertimbangan hukum.
Prinsip Kesetaraan di Depan Hukum Menurut Arsul, perlindungan hukum terhadap aparat penegak hukum memang diperlukan agar tidak ada tekanan dalam menjalankan tugasnya. Namun, ia menegaskan, perlindungan tersebut tidak boleh meniadakan prinsip kesetaraan di hadapan hukum.
“Setiap warga negara, termasuk aparat penegak hukum, seharusnya tetap dapat dikenakan tindakan hukum tanpa perlakuan istimewa. Perlindungan hukum hanya dapat diberikan dalam batas yang wajar,” katanya.
Mahkamah menilai ketentuan dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan yang mensyaratkan izin jaksa agung untuk memeriksa jaksa justru berpotensi menimbulkan perlakuan istimewa.
"Ini dapat menciptakan ketimpangan hukum antara jaksa dan warga negara biasa, padahal semangat konstitusi menegaskan tidak ada yang kebal terhadap hukum,” tambah Arsul.
Dalam pertimbangannya, MK juga mengubah pendirian yang pernah diambil melalui Putusan Nomor 55/PUU-XI/2013, yang sebelumnya menyatakan ketentuan serupa sebagai konstitusional. “Berdasarkan pertimbangan hukum dan perbandingan perlakuan terhadap aparat penegak hukum lainnya, Mahkamah menggeser pendiriannya. Norma yang memberi kekhususan bagi jaksa kini dianggap tidak selaras dengan prinsip negara hukum,” ungkap Arsul. (M-3)


















































