Kampus IPB(Dok. IPB University )
DEKAN Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Naresworo Nugroho, menyebut capaian tersebut sebagai bentuk nyata dari penguatan tata kelola kehutanan nasional yang semakin terbuka, berbasis data, dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.
“Pencapaian ini merupakan wujud konkret dari penguatan tata kelola kehutanan nasional yang semakin terbuka, berbasis data, dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat,” ungkap Naresworo, Rabu (22/10).
Menurut Naresworo, dari perspektif akademik, keberhasilan tersebut tidak terlepas dari sejumlah faktor kunci. Pertama, fokus kebijakan yang diarahkan pada dampak sosial dan ekologis yang nyata. Misalnya, melalui program Perhutanan Sosial yang memberi akses dan manfaat langsung bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Kedua, modernisasi tata kelola berbasis sistem informasi geospasial dan digitalisasi perizinan kehutanan turut mendorong transparansi dan efisiensi layanan publik. Naresworo mencontohkan peluncuran dan penguatan sistem seperti SIGAP, DSS “Jaga Rimba”, dan One Map sebagai langkah maju dalam manajemen data kehutanan.
Selain itu, pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi salah satu keberhasilan penting yang mendapat perhatian publik.
“Penekanan pada pencegahan karhutla dan manajemen risiko merupakan isu publik sensitif. Keberhasilan di area ini terlihat oleh media dan stakeholder,” imbuhnya.
Faktor lain yang turut mendorong peningkatan kinerja Kementerian Kehutanan adalah penguatan kapasitas sumber daya manusia kehutanan melalui pendidikan, penyuluhan, serta kolaborasi lintas sektor bersama perguruan tinggi dan lembaga penelitian.
Komunikasi publik dan sinergi lintas pemangku kepentingan juga menjadi perhatian. Keterlibatan parlemen, LSM, serta asosiasi kehutanan seperti APHI dan WWF dinilai berkontribusi memperkuat visibilitas dan keberlanjutan program.
“Kementerian Kehutanan juga dinilai berhasil memperkuat sinergi dengan kalangan akademisi dan praktisi kehutanan,” kata Naresworo.
Forum komunikasi seperti FOReTIKA (Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia) menjadi wadah penting untuk menyatukan arah kebijakan, riset, dan pengembangan sumber daya manusia.
Kolaborasi tersebut diwujudkan melalui lokakarya bersama serta Studium General Series yang dikenal dengan Forestry Update Course (FUCo), yang dapat diikuti oleh seluruh mahasiswa dan sivitas akademika program studi kehutanan di Indonesia.
“Kami meyakini sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat adalah kunci mencapai tata kelola hutan yang lestari, berkeadilan, dan berdaya saing global,” pungkasnya. (MTVN/I-1)


















































