
SEORANG perempuan dan putrinya tampak memilah-milah tumpukan kantong sampah. Lalat yang beterbangan seperti tak mengusik keduanya. Semua dilakukan demi mencari sisa makanan di sebuah bangunan yang hancur di Kota Gaza, Palestina.
Di tengah kondisi menahan lapar itu, dia menemukan asa: setumpuk kecil nasi, beberapa potong roti, sebuah kotak dengan beberapa bercak keju putih masih di dalamnya.
Perempuan bernama Islam Abu Taeima itu mengambil bagian roti yang basah dan meletakkan bagian yang kering di dalam karungnya. Dia akan membawa apa yang dia temukan ke sekolah tempat dia dan ratusan keluarga lainnya tinggal, merebusnya dan menyajikannya untuk kelima anaknya.
"Kami sekarat karena kelaparan," ujar Abu Teima sebagaimana dilansir Ahram Online, Selasa (27/5/2025). "Jika kami tidak makan, kami akan mati," ucapnya.
Kegiatannya mencari-cari makanan merupakan tanda baru betapa dalamnya keputusasaan yang terjadi di Gaza, tempat populasi sekitar 2,3 juta orang terdesak ke jurang kelaparan akibat blokade Israel selama hampir tiga bulan.
Masuknya sejumlah kecil bantuan dalam seminggu terakhir hampir tidak membantu meredakan situasi.
Sebelum perang, jarang terlihat orang mengais-ngais sampah untuk mencari sesuatu, meskipun kemiskinan tersebar luas di Jalur Gaza.
Sejak Israel melancarkan perang yang menghancurkan Gaza, sudah menjadi hal yang lumrah melihat anak-anak mencari kayu atau plastik untuk dibakar di api unggun keluarga mereka. Atau mencari barang yang layak dijual di antara tumpukan sampah yang bau dan terus bertambah banyak--tetapi bukan makanan. Untuk makanan, mereka mungkin mencari-cari di antara reruntuhan bangunan yang rusak, berharap menemukan makanan kaleng yang terbengkalai.
Namun Abu Taeima mengatakan dia tidak punya pilihan lagi. Dia dan putrinya yang berusia 9 tahun, Waed, berkeliaran di sekitar Kota Gaza, mencari sisa-sisa makanan yang dibuang di tempat sampah.
"Begitulah kehidupan kami sehari-hari," katanya. "Jika kami tidak mengumpulkan apa pun, maka kami tidak makan."
Ini masih belum umum, namun sekarang orang-orang yang memungut makanan dari sampah sesekali terlihat. Beberapa orang keluar setelah gelap karena malu.
"Saya merasa kasihan pada diri saya sendiri karena saya berpendidikan namun meskipun begitu saya makan dari sampah," kata Abu Taeima, yang memiliki gelar sarjana dalam bidang bahasa Inggris dari Al-Quds Open University di Gaza.
Israel Blokade Bantuan
Keluarga Abu Taeima berjuang untuk bertahan hidup bahkan sebelum perang meletus. Abu Taeima pernah bekerja sebentar sebagai sekretaris UNRWA, badan utama PBB untuk pengungsi Palestina dan pemberi kerja terbesar di Gaza.
Dia juga bekerja sebagai pembaca untuk orang-orang tunanetra. Suaminya bekerja sebentar sebagai penjaga keamanan untuk UNRWA. Dia terluka dalam perang tahun 2021 dan tidak mampu bekerja sejak saat itu.
Israel menghentikan semua pasokan makanan, obat-obatan, dan pasokan lainnya ke Gaza pada 2 Maret.
Peringatan akan kelaparan telah memicu kritik internasional terhadap Israel. Pemerintah Israel mengizinkan beberapa ratus truk masuk ke Gaza minggu lalu. Namun sebagian besar bantuan tersebut belum sampai ke masyarakat, baik karena truk bantuan dijarah atau karena pembatasan militer Israel terhadap pergerakan pekerja bantuan, terutama di Gaza utara, menurut PBB.
Kelompok-kelompok bantuan mengatakan jumlah pasokan yang diizinkan masuk tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Ancam Bakar Diri
Abu Taeima dan keluarganya meninggalkan rumah mereka di kamp pengungsi Shati di sisi utara Kota Gaza pada November 2023. Saat itu, dia dan salah satu anaknya terluka dalam penembakan tank, katanya.
Mereka pertama-tama menuju ke kota paling selatan di Gaza, Rafah, tempat mereka berlindung di tenda selama lima bulan. Mereka kemudian pindah ke kota pusat Deir al-Balah setahun yang lalu ketika Israel pertama kali menginvasi Rafah.
Selama gencatan senjata dua bulan yang dimulai pada Januari, mereka kembali ke Shati, tetapi pemilik rumah menolak mengizinkan mereka kembali ke apartemennya karena mereka tidak dapat membayar sewa.
Beberapa sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan di Kota Gaza pada awalnya menolak menerima mereka karena tempat itu diperuntukkan bagi orang-orang yang melarikan diri dari kota-kota di Gaza utara.
Barulah ketika dia mengancam akan membakar dirinya dan keluarganya, satu sekolah memberi mereka tempat.
Abu Taeima mengatakan keluarganya tidak mampu membeli apa pun di pasar, karena harga-harga barang kebutuhan utama telah meroket di pasaran.
Dia telah mencoba mendatangi dapur amal, tetapi begitu tiba di sana persediaan makanan sudah ludes.
Dapur-dapur seperti itu, yang menyediakan makanan gratis, telah menjadi sumber makanan terakhir bagi banyak orang di Gaza. Kerumunan orang membanjiri dapur-dapur amal setiap hari, saling dorong dan berdesakan untuk mendapatkan makanan.
"Orang-orang sedang berjuang, dan tak seorang pun akan bermurah hati kepada Anda," katanya. “Jadi, mengumpulkan (makanan) dari tempat sampah lebih baik.”
Demi bisa mengisi perutnya dan keluarganya, risiko tertular penyakit ia kesampingkan. Kekhawatiran akan hal itu bukan yang utama baginya. “Kelaparan adalah penyakit terbesar,” tandas Abu Taeima. (B-3)